Keadaan yang ada pada bangsa Arab sebelum Islam, yakni kebodohan tentang Allah, para RasulNya dan syari’at agama berasal dari kata Al-Jahl (kebodohan) = ketiadaan ilmu.
Jahiliyah terbagi menjadi 2:
1. Jahiliyah ‘Ammah (jahiliyah umum)
Terjadi sebelum diutusnya Rasulullah SAW, dan ia telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah.
2. Jahiliyah Khashshah (jahiliyah khusus)
Terjadi pada sebagian negara, sebagian daerah, dan sebagian orang
B. KEFASIKAN
* Menurut bahasa: alfisqu = alkhuruj (keluar)
* Menurut syara : keluar dari keta’atan kepada Allah
Kefasikan ada 2 macam:
a) Kefasikan yang membuatnya keluar dari agama, yakni kufur, karena itu orang kafir juga disebut orang fasik
QS Al-Kahfi (18):50
Artinya: “Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti bagi orang-orang yang zalim.”
QS As-Sajadah (32):20
Artinya: “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: “Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya.”
b) Kefasikan yang tidak membuat seorang keluar dari agama sehingga orang-orang fasik dari kamu muslimin disebut al-’ashi (pelaku maksiat), dan kefasikannya itu tidak mengeluarkannya dari Islam
QS An-Nuur(24):4
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
QS Al-Baqarah(2):197
Artinya: “Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
C. KESESATAN (Addhalalu)
Berpaling dari jalan yang lurus, ia adalah lawan dari Alhidayah (petunjuk)
QS Al-Isra (17):15
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah, maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Kesesatan dinisbatkan kepada beberapa makna:
Terkadang diartikan Alkufru (kekufuran)
(QS An- Nisa (4):136)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
Terkadang diartikan As-syirku (kemusyrikan)
(QS An-Nisa (4):116)
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”
Terkadang diartikan menyalahi (kebenaran), tetapi dibawah kekufuran, Al-firkud dhaallahu (kelompok –kelompok yang sesat) artinya yang menyalahi kebenaran.
Terkadang diartikan Al-khatha’u (kesalahan)
(QS As-Syu’ara (26):20)
Artinya: “berkata Musa: “Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf”.”
Terkadang diartikan An-nisyaanu (lupa)
(QS Al-Baqarah (2):282)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki . Jika tak ada dua oang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak keraguanmu. Kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Terkadang diartikan Ad-dhayaa’u walqaibatu (hilang dan tidak ada), seperti dikatakan “Dhallatul ibili” (unta yang hilang)
D. RIDDAH, MACAM-MACAM dan HUKUMNYA
Secara bahasa: Arraddatu (riddah) artinya Ar-ruju’u (kembali)
Menurut istilah: kufur setelah Islam
(QS Al-Baqarah (2): 217)
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi dari jalan Allah, kafir kepada Allah, Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka mengembalikan kamu dari agamamu , seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Riddah ada 4 macam:
1. Riddah dengan ucapan
* Seperti mencaci Allah atau rasulNya shallallahu ‘alaihi wassallam, atau malaikat-malaikatNya atau salah seorang dari rasulNya
* Mengaku mengetahui ilmu ghaib atau mengaku nabi atau membenarkan orang yang mengaku sebagai nabi
* Berdo’a kepada selain Allah atau memohon pertolongan kepadaNya
2. Riddah dengan perbuatan
* Seperti sujud kepada patung, pohon, batu, kuburan dan memberikan sembelihan untuknya
* Membuang mushaf Al-Qur’an ditempat-tempat yang kotor
* Melakukan sihir, mempelajari dan mengajarkannya
* Memutuskan hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah dan meyakini kebolehannya
3. Riddah dengan I’tiqad (kepercayaan)
Seperti kepercayaan adanya sekutu bagi Allah atau kepercayaan bahwa zina, khamr dan riba adalah halal atau hal semisalnya yang telah disepakati kehalalan, keharaman atau wajibnya secara ijma’ (konsensus) yang pasti, yang tidak seorangpun tidak mengetahuinya.
4. Riddah dengan keraguan
Tentang sesuatu sebagaimana yang disebutkan diatas
Konsekuensi Hukum setelah terjadinya Riddah
1. Yang bersangkutan diminta untuk bertaubat.
2. Jika ia bertaubat dan kembali kepada Islam dalam masa tiga hari, maka taubatnya diterima kemudian ia dibiarkan (tidak dibunuh).
3. Jika ia tidak mau bertaubat maka ia wajib dibunuh, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wassallam, “Barangsiapa mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia” (HR Al-Bukhari dan Abu Daud).
4. Dilarang membelanjakan hartanya saat ia dalam masa diminta untuk bertaubat, jika ia masuk Islam kembali maka harta itu miliknya. Jika tidak maka harta itu menjadi fa’i (rampasan) Baitul Mal sejak ia dibunuh atau mati karena riddah. Pendapat lain mengatakan, begitu ia jelas-jelas murtad maka hartanya dibelanjakan untuk kemaslahatan umat Islam.
5. Terputusnya hak waris mewarisi antara dirinya dengan keluarga dekatnya, ia tidak mewarisi antara dirinya dengan keluarga dekatnya, ia tidak mewarisi harta mereka dan mereka tidak mewarisi hartanya.
6. Jika ia mati atau dibunuh dalam keadaan riddah, maka ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikubur dikuburan umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar