Abu Dzar Al-ghifari berkata,” RasuluLlah SAW bersabda, “Min husnil islaamil mar’i tarkuhu maa laa ya’niih” yang artinya, “Sebagian dari kesempurnaan iman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berarti“.
Yang dimaksud wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang subhat. menurut komentar Ibrahim bin Adham yang dimaksud wara’ adalah meniggalkan hal-hal yang subhat dan yang tidak pasti (tidak dikehendaki) yakni meniggalkan hal-hal yang tidak berfaedah.
Abu Bakar Ash-Shidiq RA. berkata, “Kita telah meninggalkan 70 persoalan yang berkaitan dengan hal yang halal karena takut terkait dengan persoalan yang haram. Nabi SAW pernah menasehati ABu Hurairah RA. Kun Wara’am takun a’badanNaas yang artinya jadilah kamu orang yang paling wara’ niscaya kamu menjadi orang yang paling ahli beribadah diantara manusia.
As-Sary berkata, “ada empat ahli wara’ di masa mereka, yaitu Hudzaifah Al-Mashri, Yusuf bin Asbath, Ibrahim bin Adham, dan Sulaiman Al-Khawwas. Mereka mempunyai pandangan yang sama tentang wara’ . Ketika mereka mendapatkan persoalan yang sulit, mereka mampu meminimalkan”. Asy-Syibli berkata, “wara merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah SWT”.
Diceritakan oleh Ishaq bin Khalaf, “Perak dalam ilmu logika lebih hebat dari pada emas dan perak, sedang zuhud dalam ilmu kepemimpinan lebih hebat daripada keduanya. oleh karena itu en gkau dapat menhgalahkan keduanya dalam mencari kepemimpinan.
Menurut Abu Sulaiman AD-Daarani, wara’ adalah permulaan dari zuhud, sedangkan qana’ah adalah akhir dari keridhaan. Sedangkan menurut Abu Utsman, pahala wara’ adalah takut terhadap hisab. Menurut Yahya bin Muadz, wara’ akan terhenti di atas ilmu tanpa ada perubahan.
Diriwayatkan pada suatu hari AbduLlah bin Marwa mengalami kebangkrutan. Dia berada di dalam sumur yang sangat kotor. Setelah itu dia menyewanya sehingga dia dapat keluar . AbduLlah bin Marwan ditanya tentang hal ini , maka dia menjawab, “Di atas sumur terdapat asma Allah Ta’ala.
Yahya bin Muadz berkata, “wara’ terbagi menjadi dua, pertama wara’ lahir. yaitu semua gerak aktivitas yang hanya tertuju kepada Allah SWT. Kedua, wara’bathin, yaitu hati yang tidak dimasuki sesuatu kecuali hanya mengingat Allah Ta’ala.
Yahya bin Muadz berkata, “barang siapa yang belum menikmati lezatnya wara’ , maka dia belum pernah menikmati pemberian Allah Ta’ala. Ada suatu ungkapan, Barang siapa yang pandangan keagamaannya baik dan bagus, maka derajadnya akan ditinggikan oleh Allah Ta’ala di ahri kiyamat. Yunus bin Ubaid berpendapat, yang di maksud wara’ adalah menghindarkan diri dari segala bentuk syubhat dan memelihara diri dari segala bentuk arah pandangan. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Saya tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mudah daripada wara’, kecuali meninggalkan hal yang keruh di dalam hati. Syaikh Ma’ruf Al-Kharqi juga berkomentar, “jagalah mulutmu dari pujian sebagai mana engkau menjaga mulutmu dari perilaku tercela”. Bisyir bin Harits berkata, “Perbuatan yang paling utama ada tiga, Pertama dermawan dalam keadaan tidak mempunyai sesuatu kecuali hanya sedikit. Kedua wara’ dalam keadaan khalwah, ke tiga berkata benar di hadapan orang yang takut kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan harap kerelaannya”.
Dalam suatu cerita, saudara perempuan Bisyir Al Hafi datang kepada Ahmad bin Hambal seraya bertanya, “Suatu saat kami menarik tempat kami yang tinggi dan datar, kemudian ada cahaya obor yang mengikuti kami dan cahaya itu jatuh di hadapan kami, apakah boleh kami menarik cahaya obor itu ?.
“Siapa engkau ?”tanya Ahmad balik bertanya.
“Saudara perempuan Bisyir Al-Hafi”
Setelah itu ahmad bin Hambal menangis dan berkata “barang siapa yang memberikan perlindungan ( penginapan di waktu malam ) maka dia adalah orang yang wara’. Oleh karenanya, sinar obor itu jangan kau tarik”.
Ali Al-Aththar menceritakan, “Suatu hari saya melewati jalan kota bashrah. Tiba-tiba di sana ada beberapa orang tua yang sedang duduk dan beberapa orang anak yang sedang bermain. Saya bertanya, “Apakah kamu semua tidak malu terhadap beberapa orang tua itu ?” Salah seorang dari mereka menjawab, “Beberapa orang tua itu tidak memiliki sifat wara’ . Setelah itu saya menceritakan kepada mereka, tentang kehebatan anak-anak itu”.
Ada satu ungkapan, Malik bin Dinar tinggal di Bashrah selama empat puluh tahun, dia tidak pernah makan kurma, baik yang kering maupun yang basah sampai dia wafat. Ketika musim panen telah selesai, dia berkata, “Wahai penduduk Bashrah, inilah perutku yang belum pernah merasakan kekurangan dan kelebihan”.
Ibrahim bin Adham pernah ditanya, “apakah engkau tidak pernah minum air zam-zam ? Dia menjawab, “Seandainya ada timba pastilah saya minum”. Harits al-Muhasibi pernah mengulurkan tangannya untuk mengambil sesuatu makanan yang subat, tiba-tiba ujung jarinya berkeringat sehingga dia tahu bahwa makanan tersebut tidak halal. Diceritakan bahwa Bisyir Al-Hafi pernah diundang dalam suatu acara. Makanan telah diletakkan di hadapannya. Ketika dia mengulurkan tangannya, ternyata tangan tersebut tidak mengulur. Sampai dia kerjakan tiga kali. Peristiwa itu diketahui oleh seorang laki-laki . “Sesungguhnya tangan Bisyir tidak dapat diulurkan pada makanan yang syubhat. Oleh karenanya pengundang tersebut tidak layak mengundang Syaikh ini, “kata lelaki itu.
Sahal bin AbdulLah pernah ditanya tentang hal yang halal dan murni, beliau menjawab, “Barang yang dipergunakan bukan untuk bermaksiyat kepada Allah”. Beliau juga mengatakan, “Yang dimaksud hal yang murni halal adalah barang yang dipergunakan bukan untuk melupakan Allah Ta’ala”.
Hasan Al Bashri mengunjungi kota makkah beliau melihat salah seorang putera Ali bin Abi Thalib RA menyandarkan punggungnya ke ka’bah sambil menganjurkan kebaikan kepada orang banyak. Hasan Al Bashri berhenti dan bertanya, “Kebesaran agama itu apa ?”.
“wara’”.
“Penyakit agama itu apa?”
“Tamak”.
Hasan Al Bashri kagum kepadanya sampai dia berkata, “Berat timbangan satu biji wara’ yang murni lebih baik dari pada timbangan puasa seribu puasa dan shalat”.
Abu Hurairah berkata, “Orang-orang yang selalu beribadah kepada Allah Ta’ala akan dikumpulkan dengan orang-orang yang wara’ dan zuhud kelak di hari kiyamat.” Sahal bin AbduLlah berkata, “Orang yang tidak pernah bergaul dengan orang yang wara’ ibarat orang yang makan kepala gajah, tetapi ia tidak pernah kenyang”.
Dalam suatu cerita, Umar bin Abdul Aziz menerima minyak misik dari rampasan perang, sementara beliau sedang memegang racun yang terkandung di dalamnya. Setelah mengamati sejenak, beliau berujar, “Dari minyak misik ini harumnya dapat diambil manfaat. Tetapi saya tidak menyukai harumnya itu kecuali terhadap orang islam”.
Abu Utsman Al-Mariri pernah ditanya tentang wara’, beliau bercerita, Abu Shahih Hamdun, seorang penatu, berada di samping temannya yang sedang sekarat dan akhirnya meninggal dunia. setelah itu Abu Shahih meniup lampu (mematikannya) dan kemudian beliau ditanya tentang hal tersebut, maka beliau menjawab, “Sampai sekarang minyak yang dipergunakan untuk menyalakan lampu masih ada, dan mulai sekarang minyak tersebut adalah milik ahli warisnya. Oleh karena itu carilah minyak yang lain”.
Seseorang berkata berkata dengan suara halus sambil menangis. “Saya telah berbuat dosa selama empat puluh tahun. Suatu hari saudaraku berkunjung kepadaku, setelah itu aku membeli ikan panggang untuknya. Ketika dia selesai makan, saya mengambilkan sedikit tanah liat dari dinding tetangga sehingga dia dapat membersihkan tangannya, namun sampai saat ini saya belum meminta maaf kapadanya”.
Seorang laki-laki pernah menulis di papan rumah sewaan. Dia hendak menghapus tulisan itu dengan debu dinding rumah. Di dalam hatinya terlintas bahwa rumah itu adalah rumah sewaan yang sebelumnya tidak pernah terlintas (terbayangkan untuk hal ini), sehingga pada akhirnya tulisan itu dihapusnya. Setelah itu ia mendengar suara hati “Orang yang menganggap remeh apa yang menimpanya sehingga ia menghapus tulisan itu. Dia akan di hisab lama kelak di hari kiyamat”.
Ahmad bin Hambal mengadaikan bejana terbuat dari tembaga kepada tukang sayur di mekkah. ketika hendak menebusnya, penjual sayur itu mengeluarkan dua buah bejana seraya berkata, “Salah satunya dapat kau ambil”.
“Saya merasa sulit untuk memilih bejanaku, oleh karena itu bejana dan dirham sekarang menjadi milikmu”. Kata Imam Ahmad bin Hambal.
“Ini adalah bejanamu, saya ingin memberikan upah / imbalan kepadamu”. kata penjual sayur.
“Saya tidak mau mengambilnya”Jawab beliau seraya meninggalkan bejana itu karena takut dosa.
diriwayatkan bahwa Ibnu Mubarak meninggalkan hewan tunggangannya yang haganya mahal dan mengerjakan shalat dhuhur. hewan tunggangan itu kemudian berkeliaran di daerah pertanian kerajaan, setelah itu beliau meninggalkan hewan tunggangan tersebut dan dibiarkan begitu saja. Ada yang berpendapat, Ibnu Mubarak pulang dari marwa, menuju syam untuk mengembalikan pena yang dipinjam, tetapi ia tidak mengembalikan kepada pemiliknya.
Nakha’i pernah menyewa hewan tunggangan kemudian cambuknya terjatuh dari pegangan tangan. Setelah itu ia turun untuk mengambil cambuk tersebut. Seseorang berkata kepadanya Seandainya hewan tunggangan itu kembali ke tempat terjatuhnya cambuk , pati akan saya ambil”. Nakha’i menjawab, “hewan yang saya sewa memang harus saya perlakukan seperti ini, bukan seperti itu “.
Abu Bakar AD-Daqaq berkatas, “Saya telah mengunjungi daerah padang pasir bani Israel selama 15 hari. Ketika melawati sebuah jalan, saya dihadang oleh tentara untuk diberi minum sehingga hatiku kuat kembali selama tiga puluh tahun”. Dalam cerita lain Rabi’aah Adawiyah menjahit pakaiannya yang telah robek di bawah pantulan lampu milik raja, hatinya sesaat terperangkap sehingga teringat sesuatu. Secara reflek beliau merobek bajunya sehingga dia mampu menemukan jati dirinya.
Sufyan Ats-Tsauri pernah bermimpi terbang bersama malaikat di surga. Dia ditanya oleh malaikat, dengan apa kamu memperoleh ini ?”.
“Dengan sifat wara’”
Hasan bin Sinan berhenti di depan teman-temannya seraya bertanya, “Apa yang paling hebat menurut kamu sekalian ?”.
“Wara”.
“Tidak satupun yang lebih ringan daripada wara’”
“Bagaimana mungkin ?” Mereka malah balik bertanya.
“Saya belum pernah minum air sungai kamu sekalian dengan puas selama 40 tahun “.
Hasan bin Abi Sinan memang belum pernah tidur terlentang, belum pernah makan samin, dan belum pernah minum air dingin. Suatu saat dia bermimpi meninggal dunia. Dalam kondisi demikian dia ditanya oleh seseorang “Apa yang telah Allah berikan kepadamu ?” Beliau menjawab, “Kebaikan “. Hanya saja saya terhalang masuk surga karena sebatang jarum yang pernah saya pinjam tetapi belum saya kembalikan”.
Abdul Wahid bin Zaid mempunyai seorang pelayan yang melayani selama dua tahun dan mengabdi (beribadah)selama 40 tahun . Pada awalnya ia diperintah mengabdi sebagai tukang takar, ketika ia meninggal dunia ABdul Wahid bermimpi bertemu dengannya.
“Apa yang telah Allah berkkan kepadamu ?” Tanya Abdul Wahid
Kebaikan. Hanya saja saya terhalang masuk surga dan saya telah dikeluarkan dari perangkap 40 karung debu”.
Nabi Isa pernah melewati kuburan. Salah satu dari orang yang telah meninggal memanggilnya. Setelah itu Allah menghidupkan orang itu , Nabi Isa bertanya, “Siapa engkau ?”.
“Saya adalah tukang pikul kayu yang selalu memberikan kemudahan untuk kepentingan orang lain . Suatu hari saya memindahkan kayu milik orang dan yang rusak saya pecahkan. Setelah saya meninggal dunia saya dituntut untuk mengembalikan”. Kata si mayat dengan nada sedih.
Abu Said Al-Kharras membahas tentang wara’ Suatu saat dia bertemu dengan Abbas Al-Muhtadi dan bertanya, “Apakah engkau tidak merasa malu duduk di bawah atap Abu Dawaniq, minum dari kolam anggur, dan berdagang dengan uang palsu, sedangkan engkau membahas tentang wara’”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar