Diriwayatkan oleh Abu Dzar Rasulullah Saw bersabda:
“Sungguh aku lebih tahu siapa yang masuk syurga paling akhir, dan siapa ahli neraka yang terakhir keluar dari neraka:
Yaitu seseorang yang pada hari kiamat besok didatangi, dan dikatakan: “Beberkan padanya dosanya paling kecil dan hapuslah dosa-dosa besar darinya. Kemudian dosa-dosa kecilnya dibeberkan, kemudian dikatakan:
“Anda melakukan perbuatan pada hari ini dan itu, demikian dan demikian, dan anda melakukan dosa itu pada hari ini dan itu, demikian dan demikian?”
Orang tersebut menjawab, “Ya…” Sungguh ia tak bisa memungkiri. Dan Allah Swt sangat kasihan atas banyaknya dosa besar yang dilakukan, manakala dosa-dosa itu dibeberkan padanya. Maka dikatakan padanya, “Maka sesungguh bagi anda adalah setiap tempat keburukan diganti dengan tempat kebaikan.”
Orang itu bermunajat, “Oh Tuhan, aku sungguh telah melakukan berbagai perbuatan sampai aku tak tahu
di sana..!”
Perawi hadits ini berkata, “Sungguh aku melihat Rasulullah Saw, (ketika itu) tertawa, hingga tampak gigi-gigi gerahamnya.”
Kemudian beliau membaca ayat, “Mereka itulah yang Allah gantikan keburukannya (dosa-dosa) dengan kebaikan-kebaikan.”
Rasa kasihan di atas, adalah sesuatu yang merupakan rahasia yaqin kepada Allah Ta’ala, sekaligus merupakan kondisi ruhani dari kekuasanNya yang dilimpahkan pada ahli ma’rifat.
Dalam hadits mulia ini ada perkara agung yang menjelaskan tentang kemurahan Ilahi lebih dari ungkapan yang hanya dikenal kaum ‘arifun, namun membuat kepleset mereka yang alpa, dan membuat tambah takutnya orang-orang yang berselaras dengan Allah Ta’ala.
Tradisi kaum ‘arifin
Saudarku yang mulia! Siapa pun yang ingin bicara dengan lisan ahli ma’rifat, hendaknya menjaga adab ucapan mereka, karena wilayah ma’rifat itu tidak bisa tersingkap detilnya kecuali ahlinya.
Jangan pula membebani murid dengan ucapan di luar batas kemampuannya, juga jangan mencegah untuk mengungkapkannya manakala memang orang itu berkompeten dengan kema’rifatan, sehingga ucapannya terungkap bersama ahli ma’rifat, melalui lisah ahli ma’rifat pula.
Jika dengan kalangan kaum Sufi, hendaknya dengan ungkapan sufistik.
Jika dengan para pecinta, hendaknya dengan bahasa cinta.
Jika dengan kalangan ahli zuhud, hendaknya dengan wacana mereka.
Setiap kalangan, ungkapan terapresiasi sesuai dengan martabat dan derajatnya, menurut kadar akal mereka. Allah Swt, menjadikan kaum ‘arifin dengan bahasa-bahasa seperti itu.
Memang semua itu akan lebur manakala limpahan Kuasa Allah Ta’ala yang turun, maka tidak seyogyanya mengucapkan ungkapan yang tidak selaras dengan kemampuan pendengar, yang bisa menimbulkan fitnah. Karena mayoritas publik itu bodoh (dalam konteks kema’rifatan) karena mereka lebih banyak terpaku pada pengetahuan lahiriyah, dan meninggalkan pengetahuan batin, sehingga mereka tidak mampu menerima beban pandangan ungkapan kaum ‘arifin yang lembut sekali.
Kalam kaum a’rifun itu sangat teosofik (Lahutiyah), dan isyaratnya sangat suci, wacananya begitu Azaly. Bagi para pendengar wacana mereka, sudah seharusnya terpancar lampu-lampu Ilahi dan cahaya keabadian.
Disebutkan, “Lisan perilaku ruhani itu lebih fasih ketimbang bahasa lisan. Siapa yang rela dengan perilaku ruhani, bukan rela pada Sang Penguasa Kondisi Ruhani, maka orang tersebut terhinakan dari kondisi ruhani itu sendiri dan ia terhijab dari Yang Maha agung.”
Manakah yang lebih dahsyat ketimbang kedahsyatan kaum ‘arifun? Jika ia bicara tentang kondisi ruhaninya, malah ia hancur. Jika ia diam, malah terbakar. Bila hatinya mendapatkan warid Hadrah Ilahi, lisannya malah kelu. Dan jika hatinya sirna dari Hadhrah malah banyak bicaranya.
Dzun Nuun al-Mishry r.a berkata, “Saya tak pernah melihat orang bicara dari kalangan sufi, yang bicara dengan hati yang alpa dari mengingat Allah, melainkan malah bicara seperti itu menambah kekerasan hati.”
Sebagian mengatakan, “Diamnya sang ‘arif merupakan hikmah, dan biacaranya adalah ni’mat.”
Dikatakan, “Tidak dibenarkan dalam pembenaran kema’rifatan bagi orang yang bicara mengenai kema’rifatan pada generasi akhirat. Nah, bagaimana bicara ma’rifat dengan generasi dunia?”
Aku tak pernah bicara dengan satu pun orang, kecuali aku terlebih dulu berdoa kepada Allah Ta’ala, kemudian aku baru bicara.
Siapa yang yang tidak merasakan manisnya ma’rifat, dan melihat anugerah, serta mensyukuri ni’mat, kenikmatan qurbah, ketakutan pisah, kemesraan bergabung denganNya, keikhlasan beribadah, kebahagiaan hidayah, maka ia tidak boleh bicara mengenai dengan ungkapan ahli ma’rifat. Jika ia bicara, kaum ma’rifat tidak melebihi batas kemampuan audiens, tidak pernah menghalangi kalangan yang sangat membutuhkan, dan tidak menelantarkan kaum yang alpa.
Suatu ketika seseorang mendatangi sang ‘arif, sembari memohon, “Bicaralah padaku…!”
Sang ‘arif menjawab, “Orang sepertiku ketika bersamamu, seperti seseorang yang jatuh dalam kotoran, lalu menuju ke tukang parfum, dan mengatakan, “Manakah aroma yang bagus?”
Tukang parfum menjawab, “Pergilah kalian, beli alat pencuci (semacam sabun dsb. Pent.) , bersihkan dirimu dan pakaianmu, lalu kemarilah untuk berparfum…”
Begitu juga anda, ketika anda berjibrat najis-najis dosa dalam dirimu, maka ambillah pencuci remuk redammu dan Lumpur penyesalanmu, dan ambillah air taubat dan inabat, lalu sucikan badanmu dengan tempat atau kolam rasa takut dan harapan dari najis dosa dan kealpaan. Lalu pergilah ke kamar mandi zuhud dan ketaqwaan, bersihkan dirimu dengan air kebeningan dan kejujuran, lalu datanglah kepadaku, nanti aku beri wewangian dengan parfum ma’rifatku.!”
Sebagaian orang bertanya pada sang arif. “Aku tidak mengerti ucapanmu…!”
“Ucapan orang yang bisu tidak bisa diketahui oleh ibunya!” jawab sang arif.
Diantara ucapan Nabi Isa as, “Hai pemilik ucapan hikmah, jadilah dirimu seperti dokter yang menasehati, yang memberikan obat menurut manfaatnya, dan mencegah penyakitnya manakala penyakit itu mengancamnya.”
Jangan sampai kita mengurai hikmah bukan pada ahlinya, hingga anda malah bodoh, dan jangan menghalangi hikmah dari ahlinya, anda malah dzalim. Jangan membuka rahasiamu pada setiap orang, malah anda jadi ternoda.
Dzun Nuun r.a, mengatakan, “Aku pernah melihat orang hitam sedang tawaf di Baitullah, orang itu mengatakan, “Engkau…Engkau…Engkau…”
Tak ada kata lain selain kata itu saja.
“Hai hamba Allah, apa yang anda maksud dengan kata-katamu itu?”
Orang hitam itu kemudian membaca syair:
Diantara para pecinta ada rahasia
Tak ternodakan oleh tulisan dan pena
Hingga harus mengisahkannya
Api yang berbaur dengan kemesraan
Yang dileburi cahaya hingga terungkapkan pada yang lain
Rinduku padaNya, dan aku tak pernah meminta
Gantinya
Inilah rahasia-rahasia terpendam
Engkau munajat kepadaNya
Barakaallahu ta’aalaa Wabilahi Taufik Wal Hidayah Wal Inayah Wasslamualaikum Warhmatulahi Wabarakaatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar