Halaman

Sabtu, 24 September 2011

Hukum Meminta-Minta (Mengemis) Menurut Syariat Islam, Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

DEFINISI MINTA-MINTA (MENGEMIS)
Minta-minta / mengemis adalah meminta bantuan, derma, sumbangan, baik kepada perorangan / lembaga. Mengemis itu identik dg penampilan pakaian serba kumal, yg dijadikan sarana utk mengungkapkan kebutuhan apa adanya. Hal-hal yg mendorong seseorang utk mengemis –salah satu faktor penyebabnya- dikarenakan mudah & cepatnya hasil yg didapatkan. Cukup dg mengulurkan tangan kepada anggota masyarakat agar memberikan bantuan / sumbangan.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG SESEORANG UNTUK MENGEMIS DAN MINTA-MINTA
Ada banyak faktor yg mendorong seseorang mencari bantuan / sumbangan. Faktor-faktor tersebut ada yg bersifat permanen, & ada pula yg bersifat mendadak / tak terduga. Contohnya adalah sebagai berikut:
1). Faktor ketidakberdayaan, kefakiran, & kemiskinan yg dialami oleh orang-orang yg mengalami kesulitan utk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Karena mereka memang tdk memiki gaji tetap, santunan-santunan rutin / sumber-sumber kehidupan yg lain. Sementara mereka sendiri tdk memiliki keterampilan / keahlian khusus yg dapat mereka manfaatkan utk menghasilkan uang. Sama seperti mereka ialah anak-anak yatim, orang-orang yg menyandang cacat, orang-orang yg menderita sakit menahun, janda-janda miskin, orang-orang yg sudah lanjut usia sehingga tdk sanggup bekerja, & selainnya.
2). Faktor kesulitan ekonomi yg tengah dihadapi oleh orang-orang yg mengalami kerugian harta cukup besar. Contohnya seperti para pengusaha yg tertimpa pailit (bangkrut) / para pedagang yg jatuh bangkrut / para petani yg gagal panen secara total. Mereka ini juga orang-orang yg memerlukan bantuan karena sedang mengalami kesulitan ekonomi secara mendadak sehingga tdk bisa menghidupi keluarganya. Apalagi jika mereka juga dililit hutang yg besar sehingga terkadang sampai diadukan ke pengadilan.
3). Faktor musibah yg menimpa suatu keluarga / masyarakat seperti kebakaran, banjir, gempa, penyakit menular, & lainnya sehingga mereka terpaksa harus minta-minta.
4). Faktor-faktor yg datang belakangan tanpa disangka-sangka sebelumnya. Contohnya seperti orang-orang yg secara mendadak harus menanggung hutang kepada berbagai pihak tanpa sanggup membayarnya, menanggung anak yatim, menanggung kebutuhan panti-panti jompo, & yg semisalnya. Mereka ini juga adalah orang-orang yg membutuhkan bantuan, & biasanya tdk punya simpanan harta utk membayar tanggungannya tersebut tanpa uluran tangan dari orang lain yg kaya, / tanpa berusaha mencarinya sendiri walaupun dg cara mengemis.
JENIS-JENIS PENGEMIS
Ketika kita membahas tentang fenomena pengemis dari kacamata kearifan, hukum, & keadilan, maka kita harus membagi kaum pengemis menjadi dua kelompok:
1). Kelompok pengemis yg benar-benar membutuhkan bantuan
Secara riil (kenyataan hidup) yg ada para pengemis ini memang benar-benar dalam keadaan menderita karena harus menghadapi kesulitan mencari makan sehari-hari.
Sebagian besar mereka ialah justru orang-orang yg masih memiliki harga diri & ingin menjaga kehormatannya. Mereka tdk mau meminta kepada orang lain dg cara mendesak sambil mengiba-iba. Atau mereka merasa malu menyandang predikat pengemis yg dianggap telah merusak nama baik agama & mengganggu nilai-nilai etika serta menyalahi tradisi masyarakat di sekitarnya. Allah Ta’ala berfirman:
"(Apa yg kamu infakkan) adalah utk orang-orang fakir yg terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tdk dapat berusaha di bumi; (orang lain) yg tdk tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tdk meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yg baik yg kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" (al-Baqarah/2: 273).
2). Kelompok pengemis gadungan yg pintar memainkan sandiwara & tipu muslihat
Selain mengetahui rahasia-rahasia & trik-trik mengemis, mereka juga memiliki kepiawaian serta pengalaman yg dapat menyesatkan (mengaburkan) anggapan masyarakat, & memilih celah-celah yg strategis. Selain itu mereka juga memiliki berbagai pola mengemis yg dinamis, seperti bagaimana cara-cara menarik simpati & belas kasihan orang lain yg menjadi sasaran. Misalnya di antara mereka ada yg mengamen, bawa anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan yg tdk jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, ada yg mengemis dg mengamen / bermain musik yg jelas hukumnya haram, ada juga yg mengemis dg memakai pakaian rapi, pakai jas & lainnya, & puluhan cara lainnya utk menipu & membohongi manusia.
PANDANGAN SYARIAT TERHADAP MINTA-MINTA (MENGEMIS)
Islam tdk mensyari’atkan meminta-minta dg berbohong & menipu. Alasannya bukan hanya karena melanggar dosa, tetapi juga karena perbuatan tersebut dianggap mencemari perbuatan baik & merampas hak orang-orang miskin yg memang membutuhkan bantuan. Bahkan hal itu merusak citra baik orang-orang miskin yg tdk mau minta-minta & orang-orang yg mencintai kebajikan. Karena mereka dimasukkan dalam golongan orang-orang yg meminta bantuan. Padahal sebenarnya mereka tdk berhak menerimanya, terlebih kalau sampai kedok mereka terungkap.
Banyak dalil yg menjelaskan haramnya meminta-minta dg menipu & tanpa adanya kebutuhan yg mendesak. Diantara hadits-hadits tersebut ialah sebagai berikut.
Hadits Pertama.
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
"Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pd hari Kiamat dalam keadaan tdk ada sekerat daging pun di wajahnya".
Hadits Kedua
Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.
"Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api" .
Hadits Ketiga
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َالْـمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.
"Minta-minta itu merupakan cakaran, yg seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, / atas suatu hal / perkara yg sangat perlu"
Bolehnya kita meminta kepada penguasa, jika kita dalam kefakiran. Penguasa adalah orang yg memegang baitul maal harta kaum Muslimin. Seseorang yg mengalami kesulitan, boleh meminta kepada penguasa karena penguasalah yg bertanggung jawab atas semuanya.
Namun, tdk boleh sering meminta kepada penguasa. Hal ini berdasarkan hadits Hakiim bin Hizaam Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas beliau memberiku. Kemudian aku minta lagi, & Rasulullah memberiku. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْه ِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ ، وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.
"Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah & manis. Barang siapa mengambilnya dg berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya. Barang siapa mengambilnya dg kerakusan (mengharap-harap harta), maka Allah tdk memberikan berkah kepadanya, & perumpamaannya (orang yg meminta dg mengharap-harap) bagaikan orang yg makan, tetapi ia tdk kenyang (karena tdk ada berkah padanya). Tangan yg di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yg di bawah (yang meminta)".
Kemudian Hakîm berkata: "Wahai Rasulullah! Demi Dzat yg mengutusmu dg kebenaran, aku tdk menerima & mengambil sesuatu pun sesudahmu hingga aku meninggal dunia”.
Ketika Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm Radhiyallahu 'anhu utk memberikan suatu bagian yg berhak ia terima. Namun, Hakîm tdk mau menerimanya, sebab ia telah berjanji kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm utk memberikan sesuatu namun ia juga tdk mau menerimanya. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata di hadapan para sahabat: "Wahai kaum Muslimin! Aku saksikan kepada kalian tentang Hakîm bin Hizâm, aku menawarkan kepadanya haknya yg telah Allah berikan kepadanya melalui harta rampasan ini (fa’i), namun ia tdk mau menerimanya. Dan Hakîm Radhiyallahu 'anhu tdk mau menerima suatu apa pun dari seorang pun setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ia meninggal dunia”.
Hadits ini menunjukkan tentang bolehnya meminta kepada penguasa. Akan tetapi tdk boleh sering, seperti kejadian di atas, yaitu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati Hakîm bin Hizâm. Hadits ini juga menerangkan tentang ta’affuf (memelihara diri dari meminta kepada manusia) itu lebih baik. Sebab, Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu 'anhu pd waktu itu tdk mau meminta & tdk mau menerima.
ORANG-ORANG YANG DIBOLEHKAN MEMINTA-MINTA
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ: رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ: سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ: سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tdk halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yg menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yg ditimpa musibah yg menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, & (3) seseorang yg ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yg berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain utk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, & orang yg memakannya adalah memakan yg haram”.
KEUTAMAAN TIDAK MEMINTA-MINTA DAN ANJURAN UNTUK BERUSAHA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya menganjurkan kita utk berusaha & mencari nafkah apa saja bentuknya, selama itu halal & baik, tdk ada syubhat, tdk ada keharaman, & tdk dg meminta-minta. Kita juga disunnahkan utk ta’affuf (memelihara diri dari minta-minta), sebagaimana yg Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya.
"(Apa yg kamu infakkan adalah) utk orang-orang fakir yg terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tdk dapat berusaha di bumi; (orang lain) yg tdk tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari minta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tdk minta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yg baik yg kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" (al-Baqarah/2 ayat 273).
Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.
"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya / tdk memberinya".
Seseorang yg menjual kayu bakar yg ia ambil dari hutan adalah lebih baik daripada ia harus meminta-minta kepada orang lain. Nabi n menjelaskan jalan yg terbaik karena meminta kepada orang lain hukumnya haram dalam Islam, baik mereka (orang yg dimintai sumbangan) itu memberikan / pun tidak. Tetapi yg terjadi pd sebagian kaum muslimin & thâlibul-‘ilmi (para penuntut ilmu) adalah meminta kepada orang lain, & menganggapnya sebagai suatu hal yg biasa & wajar. Padahal, hal ini hukumnya haram dalam Islam. Jadi, yg terbaik ialah kita mencari nafkah, kemudian setelah itu kita makan dari nafkah yg kita dapat, baik sedikit maupun banyak, & sesuatu yg kita dapat itu lebih mulia daripada minta-minta kepada orang lain.
Seorang anak yg minta kepada kedua orang tuanya, / orang tua kepada anaknya, / isteri kepada suaminya, ini tdk termasuk dalam hadits ini. Karena, orang tua wajib memberikan nafkah kepada anaknya. Jadi, kalau anak meminta kepada orang tuanya, tdk termasuk dalam hadits ini, begitu pun sebaliknya. Karena pd hakikatnya harta anak itu milik orang tuanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَنْتَ وَمَالُكَ ِلِأَبِيْكَ.
"Engkau & hartamu adalah milik bapakmu".
Sebagian dari para sahabat adalah orang-orang miskin, tetapi mereka tdk meminta-minta kepada orang lain walaupun mereka sangat membutuhkan. Tetapi, orang-orang yg tdk mengetahui menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya disebabkan mereka menjaga kehormatan diri mereka dg tdk meminta-minta kepada orang lain.
Orang yg paling berbahagia & yg paling beruntung dalam hidup ini adalah orang yg merasa cukup dg apa yg Allah berikan. Contohnya, orang yg hanya mendapat rizki Rp 5000,- (Lima ribu rupiah) sehari, kemudian ia merasa cukup dengannya, maka ia adalah orang yg paling beruntung & bersyukur kepada Allah Ta’ala dg apa yg Allah berikan kepadanya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ.
"Sungguh beruntung orang yg masuk Islam, diberikan rizki yg cukup, & dia merasa puas dg apa yg Allah berikan kepadanya".
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللهِ أَوْشَكَ اللهُ لَهُ بِالْغِنَى: إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ أَوْ غِنًى عَاجِلٍ.
"Barang siapa yg ditimpa suatu kesulitan lalu ia mengadukannya kepada manusia, maka tdk akan tertutup kefakirannya. Dan barangsiapa yg mengadukan kesulitannya itu kepada Allah, maka Allah akan memberikannya salah satu diantara dua kecukupan: kematian yg cepat / kecukupan yg cepat".
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seorang yg mendapat kesulitan & kesusahan, namun ia selalu berharap kepada orang lain, maka kefakirannya tdk akan tertutupi. Kita dapat saksikan betapa banyaknya kaum Muslimin yg tertimpa musibah & kesulitan mereka adukan semuanya kepada orang lain, baik dg mengatakan bahwa ia sedang sakit / sedang bangkrut usahanya / selainnya. Tetapi, apabila mereka sedang mendapatkan senang & mendapat keuntungan, mereka tdk mengadukannya kepada orang lain. Seseorang yg mengadukan kefakiran & kesulitannya agar orang lain merasa kasihan kepadanya, maka hal itu tetap tdk akan menutup kefakirannya. Namun jika ia merasa cukup dg karunia yg Allah Ta’ala berikan, & ia mengadukan segala kesulitannya kepada Allah, maka Dia akan menutupi kefakirannya itu & akan menambah karunia yg telah diberikan-Nya kepadanya. Apabila Allah Ta’ala mentakdirkan kita mengalami kesulitan, lalu kita adukan kesulitan yg kita alami kepada Allah, maka Dia akan memberikan kepada kita jalan keluar yg baik & rizki, baik cepat maupun lambat.
Kita harus mengimani, memahami, & mengamalkan hadits ini dalam kehidupan kita. Kita harus yakin bahwa hanya Allah-lah yg mendengar kesulitan kita. Adapun manusia, mereka tdk suka mendengar kesulitan orang lain. Islam menganjurkan kita utk berusaha, berdasarkan ayat-ayat & hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan usaha ini tdk mengurangi waktu kita, baik dalam menuntut ilmu maupun mengajar & mendakwahkan ilmu.
KESIMPULAN
Ada beberapa poin yg dapat diambil sebagai kesimpulan dari pembahasan ini, di antaranya:
1. Harta yg kita peroleh dg usaha kita sendiri adalah diberkahi.
2. Bila kita mengalami kesulitan, maka kita harus mengadukannya kepada Allah Ta’ala.
3. Dianjurkan utk menjaga diri (ta’affuf), & tdk meminta-minta kepada orang lain.
4. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaiat para sahabatnya, agar mereka tdk meminta-minta kepada orang lain.
5. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang para sahabat & ummatnya utk meminta-minta kepada orang lain.
6. Harta yg diperoleh dari minta-minta adalah tdk berkah.
7. Meminta-minta menghilangkan rasa malu.
8. Meminta-minta adalah perbuatan yg haram & hina.
9. Harta hasil dari meminta-minta tanpa kebutuhan adalah haram.
10. Meminta-minta adalah cakaran, yg seseorang mencakar wajahnya dengannya.
11. Orang yg meminta-minta kepada manusia tanpa kebutuhan, maka pd hari Kiamat tdk ada sepotong daging pun di wajahnya.
12. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjamin dg Surga bagi siapa saja yg menjamin dirinya utk tdk meminta-minta kepada orang lain.
13. Orang yg meminta-minta berarti ia meminta bara api Neraka Jahannam.
14. Meminta-minta tdk akan dapat menutupi kefakiran seseorang.
15. Kita harus berputus asa terhadap apa yg dimiliki orang lain, & hanya mengharapkan apa yg ada di Tangan Allah Ta’ala.
KHATIMAH
Di akhir pembahasan ini saya wasiatkan kepada kaum muslimin, para penuntut ilmu, & para dai agar menjaga kehormatan dirinya dg tdk minta-minta kepada orang & tdk mengharap sesuatu kepada manusia. Bagi pemilik harta hendaklah ia menginfakkannya pd jalan yg disyariatkan. Bagi mereka yg fakir, hendaklah bersabar & memohon kecukupan kepada Allah. Dan kepada orang kaya yg tdk mengeluarkan zakatnya -demikian pula para pengacau dakwah yg mencuri harta orang lain utk kepentingan kelompoknya- hendaklah mereka takut akan siksa Allah Ta’ala.
Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang yg bersyukur & qana’ah atas segala nikmatnya, merasa cukup dg apa yg ada, serta menahan diri dari minta-minta. Sesungguhnya Allah Mahadermawan, Mahamulia.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarganya, Sahabatnya, & orang-orang yg mengikuti mereka dg baik. Dan akhir dari dakwah ini ialah segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam.
Marâji’:
1. Al-Qurâ`nul-Karim.
2. Al-Mustadrak.
3. Al-Mughamarat al-Mutamawwilin Baina al-Hajat wal Ihtirâf, karya Shâlih bin 'Abdullah al-Utsaimin.
4. Al-Mu’jamul-Kabir.
5. As-Sunan al-Kubra lin Nasâ`i.
6. At-Ta’liqatul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
7. Bahjatun-Nazhirin Syarh Riyadhush-Shâlihin, karya Syaikh Salim al-Hilali.
8. Dzammul Mas`alah, Ta’lif: Abu Abdirrahmân Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah .
9. Hilyatul-Auliyâ`.
10. Irwâ`ul-Ghalil.
11. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
12. Shahîh Bukhâri.
13. Shahîh Muslim.
14. Shahîh Jâmi’ush-Shaghîr.
15. Sunan Abu Dâwud.
16. Sunan ad-Dârimi.
17. Shahîh Ibnu Khuzaimah.
18. Sunan Ibnu Mâjah.
19. Sunan Nasâ`i.
20. Sunan Tirmidzi.
(Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/Ramadhan1429H/20085. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016)
__ Footnotes
. Muttafaqun ‘alaihi. HR al-Bukhâri (no. 1474) & Muslim (no. 1040 (103)).
. Shahîh. HR Ahmad (IV/165), Ibnu Khuzaimah (no. 2446), & ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr (IV/15, no. 3506-3508). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr, no. 6281.
. Shahîh. At-Tirmidzi (no. 681), Abu Dawud (no. 1639), an-Nasâ`i (V/100) & dalam as-Sunanul-Kubra (no. 2392), Ahmad (V/10, 19), Ibnu Hibbân (no. 3377 –at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (VII/182-183, no. 6766-6772), & Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` (VII/418, no. 11076).
. Shahîh. Al-Bukhâri (no. 1472), Muslim (no. 1035), & lainnya.
. Shahîh. HR Muslim (no. 1044), Abu Dâwud (no. 1640), Ahmad (III/477, V/60), an-Nasâ`i (V/89-90), ad-Dârimi (I/396), Ibnu Khuzaimah (no. 2359, 2360, 2361, 2375), Ibnu Hibbân (no. 3280, 3386, 3387 –at-Ta’lîqtul-Hisân), & selainnya.
. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 1471, 2075).
. Shahîh. HR Ibnu Mâjah (no. 2291) dari Jaabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhuma, & ath-Thabrâni dalam Mu’jamul-Kabîr (VII/230, no. 6961, X/81-82, no. 10019) dari Samurah & Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu. Lihat Irwâ`ul-Ghalîl (no. 838).
. Shahîh. HR Muslim (no. 1054) & lainnya, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu 'anhu.
. Shahîh. HR Ahmad (I/389, 407, 442), Abu Dâwud (no. 1645), at-Tirmidzi (no. 2326), & al-Hâkim (I/408). Lafazh ini milik Abu Dâwud.
Penulis: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas & diterbitkan oleh almanhaj. or. id

1 komentar:

  1. Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
    sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
    kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
    Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
    1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
    melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
    dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
    saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
    kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
    penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
    dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
    minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
    buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
    Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
    sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
    Atau Kunjungi Situs KYAI www.pesugihan-uang-gaib.blogspot.co.id/ agar di
    berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur, saya sendiri dulu
    hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik, jika ingin seperti
    saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau

    BalasHapus