Halaman

Minggu, 21 Agustus 2011

Mengenal Allah Swt

Allahumma sholi ala Syyaidina Muhammadinni fatihi lima ughliko wal’khotimi lima sabaqo wanasiril haqo bilhaqqi wal’hadi ila shirotikal mustaqiim wa’sholallahu alaiihi wa’ala alihi washobihi haqqo qodrihi wamiqdarihil aziim.
Sebuah peritiwa paling monumental dalam sejarah dunia, adalah turunnya Al-Qur’an pertama kali di Gua Hira’. Pertemuan Rasulullah Sayyidina Muhammad SAW, dengan Malaikat Jibril saat itu, bertepatan dengan Lailatul Qadr, merupakan representasi dari sebuah awal sekaligus akhir dari perjalanan waktu dunia yang terbatas, menuju Waktu Ilahi yang tiada hingga, Azali dan Abadi.
Betapa tidak. Ketika Jibril AS, memeluk beliau, sambil mendiktekan bacaan, “Iqra’!,” lalu dijawabnya “Maa Anaa Bi Qaari’” (Aku tak bisa membaca). Sebuah jawaban teologis, filosufis dan sekaligus Sufistik. Disebut teologis karena ketika itu Rasulullah berada di hadapan Wajah Allah, sehingga yang ada hanyalah Tauhidullah, bahkan dirinya sendiri sekali pun sirna dalam Tauhid sampai harus berkata, “Aku tak bisa membaca…”
Begitu juga sangat filosufis, karena dunia filsafat tak habis-habisnya mengurai peristiwa itu, sebagai landasan utama peradaban Tauhid di muka bumi, dan setiap kali dimaknai secara filosufis, muncul pula cahaya baru dibalik makna yang tersembunyi.
Bahkan juga sangat Sufistik, karena “Al-Qaari al-Haqiqi Huwa Allah Ta’ala”, Sang pembaca yang hakiki adalah Allah Ta’ala. Karena Dialah yang Berkalam, dan Yang Maha Tahu makna Kalam yang sesungguhnya.
Sampai ketiga kali, disaat Jibril AS meneruskan,
Iqro’ Bismi Robbikalladzi Khalaq….dst.

Kanjeng Nabi Muhammad SAW, baru bisa menirukan. Disinilah rahasia Asma Allah tersembunyi – dan dalam buku karya KH. Abdul Hamid Husen ini akan terurai , bagaimana Rasulullah SAW mampu membaca ketika kelanjutan ayat kalimat pada ayat itu terbesit kalimat. Bismi Rabbik (Dengan Asma Tuhanmu). Seandainya boleh ditafsirkan, “Bacalah Al-Qur’an ini dengan Nama Tuhanmu. Siapa Nama Tuhanmu? “Allah!”, dengan kata lain, bacalah Al-Qur’an ini dengan Allah…Allah…Allah…”.
Dan memang demikian, akhirnya tak satu pun dari seluruh tinta yang menghabiskan tujuh lautan ruhani maupun tujuh lautan fisika, mampu menuliskan, melukiskan bahkan menggambarkan dahsyatnya Ilmu Allah dalam Kalamullah itu. Yang ada hanyalah gemuruh jiwa yang menggetarkan seluruh jagad semesta ruhani dan jasmani, dalam kristal jantung Rasulullah SAW, sampai beliau menggigil dalam Fana’ul fana’. Karena Wayabqqo Wajhu Rabbika Dzul-Jalaali wal-Ikraam, ketika itu.
“Zammiluuni…Zammiluuni….” Selimuti aku….selimuti aku…. Seakan Rasulullah SAW, berkata: “Selimuti aku….selimuti… karena Cahaya dari Maha CahayaMu yang memancar di seluruh jagad cerminku. Selimuti aku, selimuti…., betapa senyap, sunyi, beku, dingin, tiada tara dalam GenggamanMu…..Selimuti…Oh, selimuti….dan akulah sesungguhnya selimutMu….Akulah NamaMu, akulah Ismu Rabbik itu…Oh…..”
Saat itu, dan mulai kala itu, tiada hari tanpa Munajat, tiada kondisi dan waktu melainkan adalah waktu-waktu penuh Liqa’ Allah. Maka Ismu Rabbik itu melimpah begitu dahsyatnya tanpa bisa terucap, tertulis dan terbayang, menjadi Al-Asma’ul Husna, diantaranya, adalah Asmaul Husna dalam surat Al-Hasyr yang dikaji di buku ini.
Peristiwa Hira’ itu, juga awal mula sebuah ajaran tentang Dzikrullah dimulai. Gemuruh Dzikrullah, telah menyelimuti seluruh nadi, ruh dan sirr Rasulullah SAW, dalam hamparan jiwanya. Karena hanya jiwa-jiwa yang beriman saja yang bisa menjadi Istana Ilahiyah.
Bahkan, dari 99 Al-Asmaul Husna yang pernah dihaditskan oleh Rasulullah SAW, dibaca oleh Asy-Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Araby, kemudian tertulis dalam kitabnya, An-Nuurul Asna Bi-MunajaatiLlaahi Bi-Asmaail Husnaa. 99 Munajat yang begitu indah, sekaligus menggambarkan Huquq ar-Rubuiyyah (Hak-hak Ketuhahan) dan Huqul ‘Ibad wal ‘Ubudiyah (hak-hak kehambaan dan ubudiyah).
Misalnya, ketika membaca AsmaNya, “Allah”, Ibnu ‘Araby bermunajat:
Ya Allah, tunjukkan padaku, bersamaMu, kepadaMu. Limpahilah rizki keteguhan (keketapan) di sisi WujudMu, sepanjang diriku dengan nya, untuk beradab di hadapanMu….

Yaa…Rahmaan, kasihanilah daku dengan pemenuhan paripurna nikmat-nikmatMu, tersampainya cita-cita ketika menahan cobaan-cobaan dahsyat dan ujianMu.
Yaa… Rahiim, sayangilah daku dengan memasukan ke syurgaMu dan bersuka ria dengan taqarrub dan memandangMu…
Yaa Maalik, Wahai….DiRaja dunia dan akhirat, dengan kekuasaan mutlak paripurna, jadikan diriku sampai di Jannatun Na’im dan Kerajaan Agung dengan beramal penuh total.
Yaa.. Quddus, sucikan diriku dari aib-aib dan bencana, sucikan diriku dari dosa-dosa dan kejahatan diri.
Yaa…Salaam, selamatkan daku dari seluruh sifat yang tercela, dan jadikan diriku dari golongan orang yang dating kepadaMu dengan Qalbun Saliim.
Ya… Mu’min, amanlahlah daku di hari yang paling mengejutkan, limpahilan rizki padaku dengan bertambahnya iman kepadaMu, sebagai bagianku.
Yaa…Muhaimin, Jadikanlah diriku sebagai penyaksi dan pemandang atas pemeliharaanMu, dan jadikanlah daku sebagai pemelihara dan pemegang amanah-amanahMu dan Janji-janjiMu.
Yaa…Aziz, Jadikanlah daku dengan PerkasaMu termasuk orang-orang yang merasa hina di hadapanMu dan berikanlah padaku amaliah dengan amal-amal akhirat di sisiMu.
Yaa… Jabbaar…,Paksalah diriku untuk berselaras dengan KehendakMu, dan janganlah Engkau jadikan aku sebagai pemaksa pada hamba-hambaMu.
Yaa..Mutakabbir, jadikanlah daku termasuk orang-orang yang tawadlu’ atas kebesaran-kebesaranMu, tergolong orang-orang yang tunduk atas hukum dan keputusanMu.
Yaa…Khaaliq, ciptakan pertolongan dalam hatiku untuk taat kepadaMu, dan lindungi daku dari kezaliman dan pengikutnya diantara makhluk-makhlukMu.
Yaa..Baari’, jadikanlah diriku dari golongan yang terbaik dari manusia, dan riaslah daku dengan akhlak baik yang diridloi.
Yaa…Mushawwir, Rupakanlah diriku dengan bentuk ubudiyah padaMu, dan cahayailah daku dengan cahaya-cahaya ma’rifatMu.
Dan seterusnya sampai sembilan puluh sembilan Nama Allah.
Itulah implementasi lain, dari
”Berakhlaqlah dengan Akhlaq-Akhlaq Allah”.
Maka Al-Asmaul Husna, adalah hampiran pertama, ketika seorang hamba ingin merespon Akhlaqullah, melalui munajat-munajat sebagaimana digambarkan oleh Ibnu ‘Araby dan juga di dalam uraian buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar