Halaman

Minggu, 21 Agustus 2011

Jenis Taubat

Allahumma sholi ala Syyaidina Muhammadinni fatihi lima ughliko wal’khotimi lima sabaqo wanasiril haqo bilhaqqi wal’hadi ila shirotikal mustaqiim wa’sholallahu alaiihi wa’ala alihi washobihi haqqo qodrihi wamiqdarihil aziim.
Taubat terbagi menjadi dua jenis. Pertama Taubat orang kebanyakan atau orang awam.Kedua Taubat Mukmin sejati.
Orang awam berusaha meninggalkan dosa dan masuk kedunia yang penuh amal soleh melalui dzikrullah dan amal ibadah, meninggalkan godaan hawa nafsu, memaksakan diri untuk beramal soleh. Ia harus meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah dan melakukan segala yang di perintahkan-Nya. Ini Taubat orang kebanyakan atau orang awam yang akan menghindarkannya dari azab neraka dan memasukkannya kedalam kenikmatan surga.

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS.Al-Baqarah:222)
Mukmin sejati, yakni Hamba Allah yang sebenarnya, berbeda dengan orang awam. Mereka pada tingkat hikmah dan Makrifat tentang Rubbubiyah, suatu peringkat yang yang lebih tinggi kedudukannya daripada keadaan yang paling tinggi dalam peringkat orang kebanyakan atau awam. Pada hakikatnya, bagi mereka tidak ada lagi anak tangga yang yang harus di panjat. Mereka telah sampai kepada peringkat dekat dengan Allah. Mereka telah meninggalkan kesenangan duniawi dan telah merasakan nikmat dan manisnya alam ruhaniyah. Mereka telah mengalami dan merasakan kedekatan dengan Allah dan nikmat memandang Allah dengan mata hati atau Bashirah dengan penuh keyakinan.
Dalam pandangan kebanyakan orang, hanya dunia yang zahir ini yang tampak, mereka hanya dapat merasakan kenikmatan yang bersifat kebendaan dan keduniaan semata. Padahal banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam wujud fisik keduniaan ini. Karena itu ganjaran dan kenikmatannya pun tidak sempurna.

“Orang-orang sufi berkata,” Wujud diri sendiri itu adalah dosa paling besar, lebih besar dibandingkan dengan semua yang ada.”
Mereka juga berpendapat, bahwa banyak perbuatan baik yang dilakukan orang-orang yang baik, tetapi mereka belum sampai keperingkat dekat dengan Allah. Karena itu nilai dan kualitas amalan mereka lebih rendah daripada kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan Allah.
Ole karena itu Rasulullah Saw mengajarkan kita untuk memohon ampunan dari dosa yang tersembunyi yang kita sangka sebagai amal saleh dengan cara memohon ampunan kepada Allah sebanyak seratus kali sehari. Allah Swt memerintahkan beliau dengan firman-Nya:

“Dan mohonlah ampunan atas dosa-dosamu dan dosa-dosa orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. (QS.Muhammad:19)
Allah menjadikan beliau sebagai contoh tentang bagaimana hamba-Nya harus bertaubat dengan cara memohon kepada Allah agar menafikan atau menghilangkan (mengosongkan) ego dalam diri, syakhshiyyah (personal) sendiri, segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan diri sendiri , bahkan menghapuskan wujud diri sendiri. Inilah tabiat yang Hakiki.
Taubat yang Hakiki dari segi pandangan para sufi maksudnya adalah membuat ghayrullah (selain Allah) dan kembali kepda Allah, kembali kehadirat-Nya dan memandang wajah-Nya. Ada di antara kalangan hamba Allah yang badannya dberdiri diatas bumi, tetapi hatinya berada di Arsy Allah Swt dan mereka memandang zat Allah. Untuk dapat memandang zat Allah itu, tidak mungkin dilakukan dengan hati yang terpaut di bumi atau terpaut di alam fana ini.

Didunia ini kita hanya dapat memandang sifat-sifat Allah yang memantul kecermin hati yang suci. Syyaidina Umar pernah berkata, “Hatiku melihat Allah dengan Cahaya Allah”. Hati yang suci adalah cermin yang memantulkan sifat keindahan, kecintaan dan kesempurnaan Allah Swt.
Untuk mencapai tingkatan ini kita perlu membersihkan dan megilaukan hati. Dan untuk membersihkan hati dan mengilaukannya, kita perlu mencari guru yang matang di bidang ilmu keruhanian dan Tauhid Rubbubiyah yang telah menempa pengalaman berpadu dengan Allah. Guru yang semacam ini haruslah mereka yang telah sampai dekat dengan Allah dan sejak awal telah di utus Allah kedunia untuk menyempurnakan manusia yang mempunyai bakat menjadi seorang sufi dan kembali kehadirat illahi.

Dalam perjalanannya turun ke bumi untuk menjalankan tugasnya, si sufi harus mengikuti jejak Rasulullah Saw. Tetapi tugas atau fungsi mereka berbeda dari kenabiyan. Para Rasul diutuskan untuk semua manusia, baik yang umum dan khusus (insan kamil, sufi, waliyullah). Guru yang diutus Allah ini datang tidak untuk mengajar semua orang, melainkan hanya untuk orang-orang pilihan. Para Rasul di beri kebebasan penuh untuk menjalankan tugas mereka, sedangkan guru-guru sufi tidak dapat sepenuhnya menjalankan tugas yang seperti dilakukan para Rasul. Mereka harus mencontoh amalan yang dilakukan Nabi Besar Muhammad Saw, dengan kata lain Guru Sufi ini dilarang membuat syariat baru, dilarang berbuat seolah-olah dirinya pandai sehingga menyimpang dari garis yang telah di tentukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Guru Sufi yang berlagak pandai dan menciptakan ajaran sendiri yang berlawanan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mengaku dirinya sebagai Nabi atau Rasul seperti yang banyak kita lihat sekarang ini, sebenarnya adalah guru yang sesat dan perlu kita hindari.

Waliyullah atau Guru Sufi yang benar adalah mereka yang memberikan pelajaran kepada orang-orang pilihan yang akan menjadi Waliyullah atau sufi, tetapi tetap memenuhi syariat dan ajaran Nabi besar Muhammad Saw, dan tidak menyeleweng dari ajaran Nabi besar Muhammad Saw sedikitpun. Tugas Guru Sufi adalah membantu para murid untuk membersihkan hati mereka masing-masing, karena hati yang bersih itulah akan menjadi tempat untuk menerima hikmah atau ilham Rubbubiyah.
Guru atau Syyaikh Sufi ini mengikuti jalan dan contoh yang di bawa oleh sahabat-sahabat Nabi yang diberi gelar’orang-orang Sufi yang meninggalkan segala keduniaan dan dekat dengan Nabi. Mereka menerima ajaran dari Nabi karena dekatnya para sahabat dengan Nabi, mereka dapat mencapai suatu tingkat yang membolehkan mereka berbicara tentng rahasia Mi’raj Nabi.
Dari segi keruhaniaan, kedekatan guru yang bertaraf Waliyullah ini dekat dengan Nabi, seperti kedekatan Nabi dengan Allah. Mereka di Anugerahi Allah suatu Amanah unyuk menyimpan ilmu-ilmu dan rahasia-rahasia Rubbubiyah, mereka itulah penanggung atau pemikul sebagian tugas ke Nabian.

Tidak semua Alim Ulama berada dalam keadaan demikian. Dari segi Tashawuf, orang yang sampai ke tingkat itu berada lebih dekat di samping Nabi daripada Anak-anak dan keluarga Nabi itu sendiri. Dan mereka ibarat anak-anak Nabi dari segi keruhanian. Pertalian keruhanian ini lebih dekat dan lebih akrab daripada pertalian darah daging
Mereka pewaris Nabi yang sebenarnya, karena itu Ulama yang seperti ini adalah pewaris para Nabi.

Ilmu Rahasia tentang Keruhanian dan Rubbubiyah di letakkan dalam diri Nabi Muhammad Saw. rahasia itu tersembunyi dalam dirinya, di balik hijab yang berlapis-lapis. Nabi tidak membuka rahasia itu, kecuali kepada para sahabatnya yang terdekat. Selain karena faktor penyebaran, rahasia ini juga menjadi kekuatan bagi Islam untuk terus berdiri teguh dan berkuasa hingga hari kiamat.
Wabillahi Taufuk WalHidayah Wal’inayah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar