Halaman

Minggu, 21 Agustus 2011

Makna Tasawuf

Tasawuf dalam dunia Islam menduduki posisi tersendiri yang banyak berpengaruh dalam perjalanan peradaban Islam, perkembangan dan ketinggian posisinya melebihi dari kritikan pengamat dan penentang akannya.
Dunia pencarian Tuhan ini terus ber-evolusi menawarkan kebenaran instuitif yang sering dicari manusia yang berada dalam keputusasaan rasionalitas dan intelektual. Di saat pilihan rasionalitas tidak menemukan jawaban, di saat jawaban tidak lagi memuaskan, di saat rasionalitas terjebak dalam kegersangan rasa, maka pengetahuan intuitif sering kali menjadi alternative pilihan.
Tasawuf sendiri seperti dikemukakan dalam paragraph kedua, mempunyai warna sesuai dengan kondisi pelaku dan waktu yang melingkupinya. Memang terkadang sulit merasionalkan tasawuf dengan rasionalitas. Karena sebagian diantaranya adalah pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan oleh pengetahuan rasionalitas yang begitu deskriptif dan definitif. Ia adalah pegetahuan subjektif yang masing-masing orang berbeda persepsi, satu titik yang bertolak belakang dengan objektifitas yang jadi ukuran utama kebeneran dalam rasio. Apapun definisinya tidak akan pernah bisa mengungkapkan hal yang sebenarnya. Layaknya definisi mawar tidak akan pernah bisa merasakan keindahan mawar itu sendiri. Jadi wajar jika dalam perjalanannya ia tetap menjadi ulasan sepanjang waktu, perdebatan para pakar, menghasilkan banyak sarjana, bukan saja dalam dunia Islam tapi juga dalam dunia orientalisme.
Tapi apapun versi tasawufnya, semua penganutnya percaya bahwa apa yang mereka percaya dan kerjakan adalah terdapat dalam al-Qur’an dan contoh nyata Muhammad, SAW.
Metode yang digunakan untuk memenuhi ambisi penulis dalam membidik evolusi tasawuf adalah dengan mengkaji litearatur-literatur (litterer research)yang berisi dan menyinggung tasawuf. Cara utama dan pertamanya ialah melihat tahun atau masa dimana para sufi dan ahli tarekat hidup. Tahun hidup para sufi dan ahli tarekat itu penulis urutkan satu-persatu dan dari sana penulis meneliti karakter ajaran dan prilaku yang dijalankan, setelah diketahui kareakter dari masa tertentu kemudian penulis jadikan sebuah periodesasi. Cara kedua yang penulis lakukan adalah melihat hubungan antara satu ajaran dengan ajaran lain, melihat pada masa siapa istilah tersebut muncul.
Dengan cara diatas, kemudian penulis bisa menemukan bagaimana evolusi tasawuf ke tasawuf selanjutnya dan evolusi tasawuf ke tarekat terjadi.
Embrio Tasawuf Dalam Islam (Asketisme)
Sejak zaman sahabat sudah dikenal beberapa sahabat yang dikenal memiliki kepribadian mengagumkan. Mereka menganut secara ketat konsep-konsep kesalehan dan wara’, yang paling terkenal adalah Ibnu Umar dengan cerita ruku’-nya yang terkenal yaitu saking lamanya ia ruku’ burung pun menganggapnya sebagai dahan pohon, Ali pun dikenal sebagai pemuda yang memiliki kesalehan yang luar biasa, begitu juga Abu Dzar al-Ghifari yang diterima periwayatan hadisnya oleh syi’ah. Umar, Khalifah kedua dalam sejarah Islam juga dikenal sebagai orang yang secara ketat dari kepemilikan harta, hingga tersebut bahwa ia hanya mempunyai dua baju, salah satunya mempunyai 70 tambalan. Disamping mereka, sungguh masih banyak lagi kisah-kisah mengagumkan dari para sahabat Nabi Islam.
Kesalehan tersebut disandarkan pada prilaku Nabi sendiri yang selalu hidup sederhana dan penuh dengan sifat-sifat mulia, yang dalam pandangan Aisyah,”akhlaquhu ka al-Qur’an yajri fi al-ard.” prilakunya bagaikan al-Qur’an yang berjalan di atas bumi. Sebuah ungkapan tentang contoh hidup (teladan) dari sebuah idealisme Islam. Sehingga wajar tatkala Muhammad wafat, banyak para sahabat yang yang merasa sedih kehilangan beliau, bahkan ketika haji wada’ (haji perpisahan)para sahabat telah banyak yang menangis karena kata-kata Nabi telah menandakan bahwa beliau akan meninggal.
Pada saat Tabi’in hidup pada abad pertengahan awal hijriah, memang telah ada sekelompok orang yang menyerahkan hidupnya hanya untuk Allah, diantaranya yang hidup pada 21-110 H/728 M adalah Hasan al-Bashri, dari kalangan Tabi’in Madinah tapi kemudian menetap di Bashrah, ia mengenalkan konsep zuhud menolak segala kesenangan dunia, khauf (takut)akan segala bentuk dosa, dan raja’ yaitu pengharapan akan mardlotillah, Hasan melihat bahwa umat Islam pada saat itu telah banyak terjebak pada kesenangan duniawi, kesenangan yang banyak didapat karena dunia Islam telah berada pada masa kemakmuran, para pejabatnya banyak terbuai, mereka menghiasi dirinya dengan kemegahan dan kemewahan yang tidak dicontohka oleh Nabi.
Ia membentuk sebuah majlis dan mewariskan ajaran-ajarannya pada murid-murid dalam majlisnya yang terletak di Bahsrah. Jadi wajar jika kemudian Bashrah menjadi cluster perkembangan tasawuf tahap awal.
Selain Hasan al-Basri, tokoh sufi terkenal lainnya adalah Rabi’ah al-Adawiyah yang lahir pada 95H/713M di Basrah, ia terkenal dengan Hubb Allah-nya, sufi perempuan pertama yang terkenal ini mengenalkan konsep hub allah dalam pengertian yang kuat dan emosional. Memang istilah hubb bisa kita temukan dari hadis-hadis Nabi, tapi konsep hubb dalam Rabi’ah al-Adawiyah telah mengantarkannya pada esoteric cinta. Ia meninggal pada 185H/801M dalam kesendiriannya di dalam gua yang selama ini menjadi tempatnya berasyik masyuk dengan Sang Tuhan.
Tidak dijelaskan apakah Rabi’ah pernah berguru pada Hasan al-Bashri, tapi beberapa sejarawan ada yang mencatatnya telah pernah bertemu dengan Hasan al-Bashri, tapi tentu saat itu usia Rabiah masihlah sangat muda. Jika ia bertemu pada tahun 110 pada akhir masa al-Bashri tentu Rabiah masih berusia 15 tahun. Tapi yang jelas menurut sejarah ia berguru pada Sufyan al-Tsauri (97-161 H), yang juga salah seorang zahid generasi awal.
Tapi terus terang pada masa diatas penggunaan nama sufi masih belum penulis temukan kecuali pendapat Abd al-Rahman al Jami yang mengatakan bahwa pada masa ini telah ada seorang zahid bernama abu Hasyim al-Kufi (w.776 M) yang hidup di kufah telah disebut sebagai sufi, tapi pendapat ini tidak sesuai dengan pendapat kebanyakan pengamat sejarah Islam, jadi wajar jika sebagian sarjana Islam mengistilahkan masa diatas sebagai masa asketisme dan prilakunya disebut dengan zahid atau apa yang penulis sebut periode ini sebagai periode embrio tasawuf.
Tasawuf Awal dan Perkembangan
Pada masa Abbasiyah telah hadir Dzu al-Nun al-Mishri, ia dilahirkan di Mesir pada tahun 190-an Hijriah, dikenal sebagai pengkritik prilaku ahli hadis-Ulama fiqh, Hadis, dan teologi- yang dinilai mempunyai perselingkuhan dengan duniawi, sebuah kritikan yang membuat para Ahlu al-Hadist kebakaran jenggot dan mulai menyebut al-Mishri sebagai Zindiq, pada tingkat penolakan yang kuat oleh ahlu al-hadist membuat ia memutuskan untuk pergi ke Baghdad yang saat itu dipimpin oleh khalifah al-Mutawakkil, setelah ia diterima oleh khalifah dan dikenal dalam lingkungan istana, pihak Mesir pun menjadi segan kepadanya, al-Mishri dikenal sebagai orang pertama yang mengenalkan maqamat dalam dunia sufi dan telah dikenal sebagai sufi yang dikenal luas oleh para peneliti tasawuf. Pemikirannya menjadi permulaan sistematisasi perjalanan ruhani seorang sufi. Ia meninggal pada tahun 245 H di Qurafah Shugra dekat Mesir.
Setelah al-Misri, datang seorang sufi bernama Surri al-Saqathi pada 253 H, ia mengenalkan uzlah-uzlah yang sebelumnya hanya dikenal sebagai tindakan menyendiri secara personal, dikembangkan al-Saqathi menjadi “uzlah kolektif”, uzlah yang ditujukan untuk menghindari kehidupan duniawi yang melenakan ataupun kehidupan duniawi yang penuh degan pertentangan, intrik dan pertumpahan darah. Pada masa-masa diatas telah mulai dikenal istilah sufi di beberapa kalangan, sebuah sebutan bagi mereka yang menghindari secara ketat terhadap kesenangan duniawi dan memilih untuk memfokuskan diri pada perkara uhkrawi (kelak konsep uzlah inilah yang banyak dianut oleh tasawuf sunni dikemudian hari).2
Abu Yazid al-Bistami pada 260 H/873 M, seorang sufi Persia yang mulai mengenalkan konsep ittihad atau penyatuan asketis dengan Tuhan, penyatuan tersebut menurutnya dilalui dengan beberapa proses, mulai fana’ dalam dicinta, bersatu dengan yang dicinta, dan kekal bersamanya. wajar jika al-Bistami dianggap oleh Nicholson sebagai pendiri tasawuf dengan ide orisinil tentang wahdatul wujud di timur sebagaimana theosofi yang meruapakan kekhasan pemikiran Yunani.
Pengaruh Abu Yazid saat itu sangat luas bukan hanya di dunia muslim tapi menembus hingga batas-batas agama. Tapi tentu ungkapan-ungkapan al-Bistami telah menghadirkan pertentangan dengan Ulama’ Hadis, mereka mengcam pandangan-pandangan pantheisme al-Bistami yang di anggap sesat.
Pasca al-Bishtami, al- Junaid pada 297 H/909 M hadir dengan coba mengkompromikan tasawuf dengan syariat, hal ini ia lakukan setelah melihat banyaknya pro-kontra antara sufi dan ahlu al-hadis di masanya, lagi pula al-Junaid juga mempunyai basik sebagai seorang ahli hadis dan fiqh. Dengan apa yang dilakukannya, al-Junaid berharap kalangan ortodoksi Islam tidak menghakimi kaum tasawuf sebagai kaum yang sesat. Dan rupanya al-Junaid berhasil, minimal ia telah mengubah cara pandang kalangan ortodoksi terhadap tasawuf. Tampil bersama dengan al-Junaid, al-Kharraj (277 H) yang juga menelurkan karya-karya kompromistis antara ortodoksi Islam dan tasawuf.
Al-Hallaj, murid al-Junaid yang hidup pada 244-309 H/858-922 M hadir dengan lebih berani dan radikal, sufi yang juga pernah berguru pada para guru sufi di bashra ini hadir dengan konsep hulul yaitu konsep wahdatul wujud dalam versi yang lain, jika al-Bistami memulainya dengan fana’ fillah, maka al-Hallaj mengemukakan pemikiran al-hulul yang berangkat dari dua sifat yang dipunyai manusia yaitu nasut dan lahut dengan cara mengosongkan nasut dan mengisinya dengan sifat lahut maka manusia bisa ber-inkarnasi dengan Allah atau yang terkenal dengan istilah hulul, dan seterusnya. Al-Hallaj tidak memakai tedeng aling-aling dalam menceritakan pengalaman spiritualnya dalam khalayak umum, baginya yang ada hanyalah Allah, tidak ada sesuatu pun yang harus ditutupi dari sebuah kebenaran, baginya kecintaan pada Allah dan “persetubuhan” dengan Allah dapatlah diraih, bahkan saat al-Hallaj dipasung ia sempat berkata,”Ya Allah ampunilah mereka yang tidak tahu, seandainya mereka tahu tentu mereka tidak akan melakukan hal ini”.6
Para sufi-sufi diatas kemudian diklasifikasikannya sebagai sufi falsafi dan sufi amali akhlaqi, diantara yang termasuk tasawuf falsafi adalah al-Hallaj, al-Farabi, dan al-Bistami, dan diantara yang menganut tasawuf amali adalah al-Junaid dan al-Kharraj7. Kaum falsafi biasanya diidentikkan dengan konsep sakr (kemabukan) dan isyraqiyah (pancaran), adapun tasawuf amali atau akhlaqi biasanya diknal dengan konsep sahw (ketenangan hati) dan zuhd.8
Tasawuf Masa Kematangan
Evolusi dunia tasawuf masih terus berlangsung dalam mencari bentuknya, pengalaman-pengalaman esoteric dan asketis diceritakan dan dirangkai secara ilmiah. Dipadukan dengan justifikasi-justifikasi ortodoksi.
Pada masa al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M), istilah-istilah tasawuf telah mendapatkan definisinya, ketika seorang sufi menyebut satu istilah, maka yang lainnya akan segera paham dengan apa yang dimaksud. Masa ini adalah masa titik puncak dimana tasawuf telah menemukan bentuknya. Menjadi seorang sufi pada masa ini tidaklah semudah menjadi sufi pada masa awal. Menjadi sufi pada masa ini haruslah melalui prasyarat-prasyrat yang telah dibangun oleh Ulama’-Ulama’ sebelumnya, terutama hal ini Nampak pada tradisi tasawuf amali yang banyak berlaku di kalangan sunni, sedangkan di kalangan syi’i pengaruh itu dapat kita temui hanya pada tataran pemikiran mulai dari neo-platonisme hingga menjadi theosofi pancaran/pencahayaan.
Al-Ghazali hadir menawan siapa saja yang melihatnya, ia menyerang budaya theosofi falsafi yang dianut oleh banyak para Filosuf dan sufi falsafi. Seperti halnya al-Junaid ia juga mencoba menarik kembali budaya-budaya sufistik ke dalam ortodoksi Islam, ia mengenalkan konsep ma’rifah sebagai jalan tengah pantheisme yang terjadi pada kaum falsafi. Banyak buku yang dilahirkannya, tapi petunjuk besarnya adalah kitab ihya’ ulum al-din yang ditulis mendekati akhir hidupnya di kota Makkah, karyanya yang paling tebal dan memuat apa saja yang harus dilakukan oleh seorang pencari Tuhan. Al-Ghazali menandai dimana era tasawuf dapat diterima secara luas di kalangan sunni tanpa rasa takut dihukum penguasa. Tasawuf dianggap sebagai jalan alternative yang begitu digandrungi.
Tapi pada saat itu pelembagaan amaliah-amaliah dalam pengajaran tasawuf belumlah terjadi. Amaliah dilakukan dengan fleksibel dan lebih berorientasi pada makna. Karangan-karangan Ulama’ masih diangap sebagai sebuah teori dalam ilmu sosial dan belum dianggap sebagai hukum layaknya dalam ilmu fisika.
Para murid yang berpindah-pindah guru setelah menyelesaikan suatu disiplin limu masih sesuatu yang lazim dilakukan. Tapi pada saat banyak tertariknya msyarakat luas akan dunia tasawuf dengan berbagai faktornya membuat para guru sufi merasa perlu untuk tetap memperhatikan perkembangan para murid yang berada dalam bimbingannya. Murid bimbingan yang awalnya hanya beberapa atau beberapa puluh, pada masa ini telah mekar menjadi beberapa ratus bahkan ribu hingga membuat para masayikh mengutus dan memercayakannya menjabat sebagai wakil dirinya di beberapa kesempatan dan tempat. Dari sini kemudian berlanjut pada madhab tasawuf guru siapa yang dianut.
Kristalisasi Tasawuf ke Tarekat
Tuntunan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-din dan Bidayah al-Hidayah rupanya telah diterjemahkan oleh para pengikut di sekitarnya dengan kelahiran amaliah-amaliah yang memerlukan panduan guru (syaikh). Jalan tasawuf biasanya diikuti dalam konteks kelompok. Kelompok para salikin (pencari Tuhan) yang mengitari Syaikh-nya, hal ini biasa disebut sebagai halaqah: Lingkaran. Para anggota halaqah berhubungan erat sebagai sesama musafir di jalan menuju Tuhan. Pada akhirnya ligkaran-lingkaran awal ini bergabung membentuk tarekat: jalan, persaudaran.
Tarekat-tarekat itu sendiri muncul beranjak dari sebuah kesadaran membuat sistematika taqarrub kepada Allah dan dari sebuah kesadaran yang timbul dari para syeikh-Syeikh tarekat yang merasa perlu memberi sebuah thariqah pada murid-murid tarekat, sebuah jalan yang dianggap sebagai bentuk implementasi pemikiran tasawuf. Dari sana kemudian para masayikh memberikan binaan kepada muridnya dalam metodologi pencapaian makrifat.
Dari sana pula kemudian timbul bagaimana seorang murid harus memulai pencariannya untuk menemukan wujud Allah, kemudian diatur pula tentang bagaimana adab murid terhadap guru, juga bagaimana tatacara berdzikir pada Allah. Abu Sa’id Ibn Abi al-Khayr dianggap sebagai sufi petama yang menyusun aturan-aturan peribadatan dan menyusun kitab etika kehidupan komunal.
Tarekat pertama yang berdiri secara resmi dalam dunia Islam adalah tarekat qadiriyah dengan syeikh agungnya Muhibbin Abu Muhammad Abdul al-Qodir al-Jilani pada 1166 M, setelah qadiriyah hadir tarekat rifaiyah yang didirikan oleh Ahmad Ar-Rifa’I (1175 M), tarekat Suhrawardi yang dinisbatkan pada Abu Nadjib al-Suhrawardi secara defacto didirikan oleh kemenakannya Umar al-Suhrawardi (1145-1234 M), tarekat maulawiyah menjadi terekat keempat yang muncul, tarekat ini muncul di Anatolia, didirikan oleh penggubah puisi mistik agung Jalaluddin al-Rumi (1273 M), syadiliyah menjadi terekat yang didirikan selanjutnya oleh Ali al-Shadhili (1256 M)-dari tarekat syadiliyah ini kemudian pada abad 15 berdiri tarekat isawiyah-, berlanjut ke tarekat badawiyah yang muncul di selatan Mesir didirikan oleh Ahmad Badawi (1274 M), naqsyabandiyah yang didirikan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi yang hidup pada 717-791 H/1318-1389 M menjadi terkat yang muncul setelah tarekat-tarekat sebelumnya, tarekat syattariyah yang didirikan oleh Abdullah al-Syattar, tarekat sanusiyah yang dinisbatkan pada Sidi (Sayyidi) Muhammad bin Ali al-Sanusi, seorang syaikh dari Algeria (1791-1859 M) yang berkembang luas di Afrika Utara.
Sebagian tarekat diatas banyak dianut di daerah Asia Tengah dan Asia Tenggara termasuk beredar luas di Indonesia bahkan ada yang menfusikan menjadi tarekat qadiriyah-naqsyabandiyah, yaitu gabungan antara tarekat qadiriyah dan naqsyabandiyah.
Ada yang bertanya mengapa bukan tarekat taifuriyah yang notebene dinisbatkan pada tokoh sebelum orang-orang diatas, hal itu karena dalam terekat taifuriyah tidaklah didirikan oleh orang yang menjadi nisbat dalam nama tarekat tersebut tetapi didirikan oleh keturunannya ataupun oleh muridnya yang hidup setelah tokoh yang menjadi nisbat itu meninggal, atau tepatnya setelah kehidupan tarekat marak di dunia Islam.
Mereka rata-rata berbicara tentang tahapan-tahapan (maqamat-maqamat) yang harus dilalui seorang murid seperti apa yang telah penulis kemukakan diatas. Metode pencapaian Tuhan yang diterapkan oleh masayikh tersebut telah secara tidak langsung telah menelurkan lembaga-lembaga terekat yang menaungi para pengikut tarekat yang terdiri dari Syaikh, Murid, dan funduq (tempat penginapan) untuk melatih para murid tarekat dalam pencapaian menuju Tuhan. Dan biasanya bertempat di pedesaan atau pegunungan.
Periodesasi tarekat ini oleh Georges C. Anawati dipandang secara garis besar sebagai masa kemunduran gerakan sufisme. Karena bagi Anawati, pada masa ini secara garis besar tidak ada lagi ide yang orisinil yang muncul dari dunia tasawuf.
Kesimpulan
Tasawuf berawal dari kesederhanaan dan kesalehan yang ditunjukkan dalam kehidupan Muhammad SAW dan para sahabatnya, sikap ini pada masa Umawiyah berkembang menjadi asketisme yang menekankan prilaku zuhd, khauf serta mahabbah oleh beberapa orang.
Generasi kedua kemudian lebih intens lagi dalam mensistematisir kualitas hubungannya dengan sang pencipta, hal itu kemudian menjadi penanda lahirnya tasawuf, dunia orang-orang yang berasyik masyuk dengan dunia spiritual keagamaan, tasawuf awal mengenalkan konsep uzlah kolektif kemudian pula dikenal maqamat-maqamat, setelah itu dikenal musyahadah kemudian dikenal wahdatul wujud, terus berkompromi dengan syariat menjadi mukasyafah. Dan kemudian mengkristal menjadi tarekat sebagai jalan untuk mereka yang ingin mencapai Tuhan dengan para syeikh-nya yang menjadi pembimbing.
Tentu, penyelidikan ini bukanlah penyelidikan yang final, studi yang lebih intens bisa dilakukan untuk menguak tabir evolusi tasawuf dalam dunia Islam, penelitian dapat dilanjutkan pada bagaimana sebuah pemikiran ber-metamorfosa, bagaimana pula pengaruh wilayah dan kehidupan para sufi berpengaruh terhadap jalan pemikirannya. Karena penulis beranggapan bahwa sebuah pemikiran tidak mengkin langsung mempunyai bentuk jika maternya tidak ada. Jadi pasti ada materi dan bentuk awal yang melandasi setiap pemikiran para sufi dan bagaimana ia mencerna zamannya dalam pemikirannya, jadi ada semacam keterkaitan pemikiran dengan pemikiran lain dan juga yang paling penting adalah pengalaman sufistik yang dialami oleh para sufi.
Yang perlu digali lagi adalah gerakan-gerakan yang terdapat dalam tarekat bagaimana ia bermula dan bagaimana pula ia dianggap sebagai sebuah ritual dan kebenaran dalam mencari Tuhan. Bagaimana pula terdapat perbedaan yang sangat kontras antara gerakan satu tarekat dengan gerakan tarekat lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar