Halaman

Sabtu, 24 September 2011

Perbedaan Pandangan Fiqh dalam Penunjukkan dari Sebuah Dalil

الخلاف الفقهي في تحقيق المناط
Rambu-Rambu Penetapan Hukum dalam Fiqh Islam:2
Perbedaan Pandangan Fiqh dalam Penunjukkan dari Sebuah Dalil
2
Dalam berbagai kesempatan jaulah-dakwah sering ada ikhwah yg menyampaikan pendapatnya pd ana sebagai berikut: “Berkoalisi dg kelompok sekular itu haram!” Ana tanya: “Mengapa?” Jawab ikhwah tersebut: “Ya jelaslah, berdasarkan ayat & hadits yg melarang ber-muwalah dg musuh-musuh ALLAAH SWT. ” Dalam kesempatan lainnya ada ikhwah lain yg berkata: “Mengapa kita harus bergandengan dg ahlul-ma’ashiy (ahli maksiat) utk memimpin ummat, bukankah itu berarti mengorbankan prinsip dakwah demi kepentingan kekuasaan?!”
Demikianlah semangat yg berkobar-kobar di dada para ikhwah, yg sungguh ana bersyukur bisa mengkaruniakan masa-masa dalam hidup ana, utk selalu berkumpul bersama orang-orang yg punya ghirah terhadap Islam yg demikian tinggi, & semoga ALLAAH SWT bisa mengumpulkan ana & mereka kelak di Jannah-NYA, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih: . Orang-orang yg saling mencintai karena ALLAAH, saling bertemu karena ALLAAH & berpisahpun karena ALLAAH(1). Aamiin ya RABB
Namun ikhwah wa akhwat fiLLAAH a’azzakumuLLAAH, ketahuilah bahwa masalah yg kita diskusikan di atas tidaklah sesederhana seperti yg diperkirakan oleh sebagian ikhwah di atas, oleh karenanya izinkan dalam kajian kali ini ana memaparkan sedikit tentang mana-mana masalah yg pokok yg tdk berubah dalam Islam (ats-tsawabit) & mana yg bisa berubah, & setelah itu akan sedikit ana paparkan juga bagaimana perbedaan pendapat para fuqaha atas penunjukan dari sebuah dalil (khilafiyyah dalam tahqiqul-manath) yg tdk boleh sembarangan, karena ia tdk boleh asal melihat dalil lalu dimaknai dalam suatu kasus secara serampangan, karena jikalah masalahnya sesederhana itu maka tdk perlu lagi adanya fuqaha & tak perlu lagi diajarkan disiplin ilmu fiqh syari’ah.
Tsawabit Wal Mutaghayyirat 2
Tsawabit adalah hal-hal yg bersifat tetap & tdk menerima pengembangan ijtihad maupun tambahan & perubahan apapun. Menurut Syaikh DR Abdurrahman Abdul Khaliq rahimahuLLAH: Yang termasuk kelompok ini adalah bidang aqa’id (masalah-masalah keimanan), ibadah (rukun Islam yg lima) & akhlaq (kumpulan pekerti yg utama seperti kejujuran, ihsan, keikhlasan, keberanian, dsb). Semua perkara ini adalah tsawabit dalam ad-Din, manusia sama sekali tdk boleh memasukkan tambahan / pengurangan apapun ke dalamnya.
Sifat-sifat ALLAH SWT, malaikat, surga & neraka, hari akhir, azab kubur & masalah-masalah gaib yg lain, mutlak menerima tambahan baru / pengurangan apapun, karena ilmu baru dalam masalah ini hanya bisa didapat melalui wahyu, padahal tdk ada lagi wahyu sepeninggal RasuluLLAH SAW. Inilah perbedaan mendasar antara kita dg sebagian kelompok tasawwuf, karena ada di antara mereka yg bertumpu kepada takhayyul, khurafat & mukasyafah utk mengetahui hal-hal aqidah di atas, sehingga ada di antara mereka yg berkata: Kami telah bertemu dg ALLAH SWT, / kami telah bertemu dg malaikat anu & anu… Padahal pintu kegaiban seperti ini tdk akan didapatkan kecuali melalui wahyu, sedangkan setelah nabi SAW wafat maka tdk ada lagi wahyu.
Ibadah-ibadah pun tdk boleh diadakan penambahan / pengurangan, menambah 1 raka’at saja dari shalat fardhu yg telah ditetapkan akan membatalkan shalat tersebut, demikian pula mengadakan shalat sunnah yg belum pernah dilakukan oleh nabi SAW, / menambah berbagai kaifiyyat ibadah manapun seperti zakat, puasa & hajji adalah tdk boleh, semuanya harus dilakukan seperti yg telah dicontohkan oleh nabi SAW tanpa ditambah ataupun dikurangi.
Demikian pula dalam masalah akhlaq & tazkiyyah-nafs, tdk boleh ditambah / dikurangi, karena akan menjadi berlebihan / berkurangan dari yg telah dicontohkan oleh nabi SAW. Kesemua hal ini adalah tsawabit dalam Islam, apapun tambahan & pengurangan di dalamnya adalah merupakan bid’ah yg diharamkan & pelakunya adalah sesat & tempatnya adalah di neraka(2). SELESAI KUTIPAN.
Adapun yg mutaghayyirat menurut beliau adalah sebagai berikut: Nash-nash al-Qur’an yg turun dalam masalah mu’amalah, maka ia bagaikan kaidah-kaidah, pokok-pokok yg umum & bingkai yg memberikan penerangan bagi kaum muslimin & memberikan legalitas utk mereka mengatur diri mereka sendiri sesuai petunjuk ketika muncul perubahan yg baru baik yg berkaitan dg diri mereka sendiri maupun dg musuh-musuh mereka. Karena itulah masalah mu’amalah merupakan mutaghayyirat terbesar dalam diin ini.
Singkatnya bidang mu’amalah adalah pintu-pintu terbesar dari pintu-pintu ijtihad. Karena luasnya cakupannya, besarnya variasi serta cepatnya perubahannya, maka dapatlah dikatakan bahwa bidang ini seperti urusan politik, ekonomi & sosial, maka ini merupakan suatu problema. Sebab yg tsawabit dalam Islam (aqidah, ibadah & akhlaq) tdk menimbulkan problema karena memang nashnya jelas, bisa difahami serta sedikit sekali perbedaan pendapat di dalamnya. Sedangkan urusan politik, sosial & ekonomi, sekalipun pokok-pokoknya tetap namun perubahannya besar sekali. Situasi politik dunia tiap hari berubah & membutuhkan ijtihad baru. Kita tdk hidup sendirian di bumi ini, tapi turut hidup pula bersama kita ummat & bangsa-bangsa lain. Mereka memiliki sistem mu’amalah tersendiri & memberikan pula tekanan politik pd kita(3).
Khilafiyyah dalam Tahqiqul-Manath2
Adapun persoalan khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan fuqaha dalam penetapan tahqiqul-manath (menerapkan suatu hukum/nash yg bersifat umum kepada kasus-kasus yg bersifat khusus) maka hal ini termasuk perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang syariat), dimana pihak yg berbeda dalam penetapannya tdk boleh dicela / diragukan dien-nya & keadilannya.
Mengapa? Karena cakupan persoalan ini ke dalam ilmu waqi’i (ilmu realitas) lebih banyak dari cakupannya ke ilmu syar’i (ilmu agama). Maka barangsiapa melihat kebenaran dari salah satu di antara 2 pendapat, maka ia wajib mengikutinya, & barangsiapa menguatkan pendapat yg lain dg ijtihad (kalau ia seorang mujtahid baik juz’i maupun muthlaq) / dg taqlid kepada seorang yg ia percayai din-nya & ilmunya (jika ia dari golongan awam), maka tdk ada celaan atasnya.
Berkata seorang ulama salaf pembela sunnah, Imam Asy Syatibi –rahimahuLLAAH-: “Adapun ijtihad yg berkenaan dg tahqiqul-manath maka mengenai penerimaannya sudah tdk ada khilaf lagi di antara ummat. Contohnya tafsir dari ayat: Dan persaksikanlah dg 2 orang saksi yg adil di antaramu(4), makna adil adalah jelas, tapi bagaimana menentukan kualitas keadilan tersebut? Maka manusia tdk memiliki standar yg sama, bahkan akan jauh berbeda. Ujung teratas adalah jelas, yaitu sebagaimana keadilan pd diri sahabat Abubakar ra, yg tdk ada kesamaran dalam keadilannya. Demikian pula ujung terbawah yg merupakan awal yg berbatasan dg sifat zhalim, seperti orang yg pernah mendapatkan hukuman had dalam Islam. Adapun antara 2 ujung tersebut ada banyak tingkatan adil yg tak terhingga jumlahnya, yg pertengahan sangat samar, maka disinilah perlu pengerahan akal fikiran secara maksimal utk menentukannya, inilah lapangan ijtihad(5).
Lebih lanjut beliau menjelaskan: “Cukuplah anda mengetahui bahwa syariat tdk menetapkan hukum atas setiap perkara yg bersifat juz’i, namun syariat datang membawa perkara-perkara yg bersifat kulli & keterangan yg bersifat mutlak. Maka seorang mujtahid haruslah seorang yg sangat faham tentang sisi masalah fiqh yg ia amati, agar hukum syar’i turun selaras dg tuntutannya. Sebagaimana juga seorang muhaddits yg harus mengetahui keadaan sanad & jalur-jalur periwayatannya, mengetahui shahihnya dari dha’ifnya, mana yg bisa dijadikan hujjah & mana yg tdk bisa(6).
Contoh pembahasan fiqh dalam masalah ini adalah sebagai berikut: Menolak Hukum Syar’i adalah Kufur Besar, & perkara ini merupakan hal yg qath’i (pasti) dalam syariah. Akan tetapi tahqiqul-manath nya (penerapannya pd suatu kasus tertentu), akan berbeda-beda tergantung pd situasi, kondisi, sebab, dsb. Seorang tdk bisa langsung dihukumi kafir hanya karena menggunakan suatu sistem dari Barat misalnya, tapi hendaknya dibandingkan antara manfaat & mafsadat dari sistem tersebut & dilakukan pengujian serta penelitian secara teliti, sampai jelas perbandingan mafsadat & manfaatnya, karena pengharaman dilakukan bukan lidzatihi (karena menggunakan salah satu sistem impor tersebut) melainkan li dhararihi (karena dampaknya). Dan dampak ini merupakan hal yg perlu kajian & penelitian yg seksama, & setiap orang dapat memperkuat argumen nya masing-masing tanpa memvonis kepada yg berbeda, karena ia merupakan masalah ijtihadiyyah.
Contoh lainnya adalah al-muwalah bil kuffar (memberikan loyalitas kepada orang kafir) adalah haram berdasarkan nushush yg qath’iy & masalah ini la syakka fiihi (tidak ada keraguan di dalamnya) bagi orang yg beriman kepada ALLAAH & hari Akhir, namun jika ada kasus sebuah kelompok dakwah melakukan koalisi politik dg kelompok sekularis tdk dapat serta-merta di vonis sebagai muwalah bil kuffar, sebelum dilihat illat (sebab-sebab)-nya apakah karena memang ada muwalah disana / karena strategi dalam peperangan, / juga karena fiqh muwazanah bayna al-maslahah wa al-mafsadah. Sekali lagi masalah-masalah seperti ini amat banyaknya & ia lebih dekat kepada Fiqh Waqi’ dibandingkan dg Nushush Syari’ah itu sendiri. Kasus seperti ini amat banyaknya dalam waqi’iyyah keseharian kita dalam beramal jama’i, sebagaimana telah dicontohkan pd pernyataan-pernyataan ikhwah di atas. Wallahu a’lamu bish shawaab…
___
Catatan Kaki:2
(1) HR Bukhari, III/116 & Muslim, VI/381
(2) As Salafiyyun wal ‘Aimmah al Arba’ah, DR Abdurrahman Abdul Khaliq, hal. 24-25.
(3) Ibid, hal 26-28.
(4) QS at-Thalaq-2
(5) Al-Muwafaqaat, Imam Syathibi, IV/89
(6) Ibid, IV/165
Sumber: al-ikhwan. net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar