Dalam tradisi tarekat, tujuan TQN dilukiskan secara jelas dalam do'a yang diucapkan setiap orang yang hendak melakukan amalan yang maha penting, yaitu dzikrullah. Do'a dimaksud adalah sebagai berikut:
"Tuhanku, engkaulah yang menjadi tujuanku dan keridhoan-Mu yang aku cari, berikanlah kepadaku kemampuan mencintai-Mu dan Ma'rifah kepada-Mu"
Dalam doa awal dzikrullah, sebagaimana tertulis di atas, terkandung substansi ajaran Islam secara mendasar: Bahwa Allah-lah yang menjadi maksud dan tujuan akhir hidup manusia. Dalam doktrin teologi Islam dijelaskan bahwa manusia pada awal kejadiannya berasal dari Allah, kini sedang berada di bumi Allah dan akhirnya akan kembali kepada Allah.
Ibadah Wajibah merupakan penjabaran Syari'ah sedangkan dzikir merupakan pengamalan aspek bathin dari syari'ah yang dalam tasawuf disebut thoreqat. Syari'at dan Tarekat keduanya diamalkan secara seimbang dalam upaya mencari hakikat. Ketika para sahabat bertanya kepada Abdullah bin Abbas mengenai interpretasi firman Allah, "Dzikirlah kamu sekalian kepada-Ku; nanti Aku pun ingat kepadamu". Ia Menjawab: "Dzikirlah kamu sekalian kepada-Ku dengan jalan Taat kepada-Ku; nanti Aku ingat kepadamu dengan pertolongan-Ku". Senada dengan pernyataan diatas, Sa'id bin Jubair mengatakan: "Ingatlah kepada-Ku dengan cara taat kepada-Ku; Aku pun ingat kepadamu dengan ampunan-Ku", sementara sebagian sahabat berpendapat; "Dzikirlah kalian kepada-Ku sewaktu mendapatkan Nikmat dan Kebahagiaan, Niscaya Aku ingat kepadamu ketika kamu dalam kesulitan dan cobaan".
Mengapa Dzikir begitu prinsip dalam TQN? Jawabannya, betapa banyak ayat Al-Qur'an yang menguatkan kedudukan dzikir; bahwa dzikir merupakan perkara yang paling besar. Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya Sholat harus bisa mencegah dari perbuatan Fakhsyah dan Munkar, dan sesungguhnya dzikir kepada Allah Swt lebih besar dan Allah Swt amat mengetahui apa yang kamu perbuat", (QS. Al Ankabut, 29 : 45).
Menurut orang-orang yang ma'rifat, paling tidak ada empat prinsip tentang interpretasi ayat diatas;
Pandangan TQN mengenai Hubungan Sosial Kemasyarakatan, baik dengan sesama muslim maupun dengan non muslim, dapat dilihat dalam bagian uraian tanbih berikut ini:
Keempat materi tanbih diatas menjelaskan kepada kita bagaimana model ideal interaksi antar kita dengan orang yang lebih tinggi dari kita, dengan sesama dalam arti yang sederajat dalam segalanya, dengan orang yang ada dibawah kita dan dengan fakir miskin. Tanbih menjelaskan bahwa kedamaian lahir bathin akan terwujud ditengah-tengah masyarakat manakala masing-masing individu berpegang teguh terhadap etika sosial; sebagaimana digambarkan dalam tanbih tadi.
Dalam sebuah hadist dijelaskan: "Bukanlah dari golonganku orang yang tidak sayang kepada yang ada dibawahnya dan tidak menaruh hormat kepada orang yang ada diatasnya". Lebih dari itu, Tanbih juga membuat patokan bagaimana seharusnya sikap kita dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dengan orang asing, baik yang seagama dengan kita maupun yang tidak seagama. Kita harus tetap saling hormat menghormati, harga menghargai Tepo Seliro.
Menyangkut Hubungan dengan Non Muslim lebih jelas lagi, tanbih menegaskan seperti berikut: "Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat surat Al Kafirun ayat 6: 'Agamamu untuk kamu, Agamaku untuk ku', maksudnya jangan terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga menghargai, tapi janganlah ikut campur". Tanbih menggariskan adanya toleransi beragama, sejauh tidak melanggar etika teologis. Jangan karena alasan toleransi, keyakinan di korbankan.
Oleh karena itu, dalam urusan agama janganlah kita ikut-ikutan, tetapi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi maupun politik, kita menyatu secara damai dan toleran. Selanjutnya Tanbih menjelaskan, "Cobalah renungkan pepatah leluhur kita: hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah akibat dari perbuatan diri sendiri". Pernyataan Tanbih diatas, disamping mengandung ajaran moral dan akhlak, mengandung pula ajaran teologi. Ketika seseorang dituntut untuk bersikap dan berprilaku terhadap fakir miskin, maka ia harus bersikap jabbariyah. Akan tetapi, ketika melihat kenyataan kehancuran sekelompok manusia yang tidak bersyukur, ada tuntutan untuk bersikap khodariyah. Kehancuran dan kehinaan manusia karena ulahnya sendiri, bukan kehendak Allah.
Bagian akhir tanbih menyatakan: "Oleh karena demikian, hendaklah segenap murid-murid bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan lahir dan batin dunia maupun akhirat, supaya hati tentram. jasad aman, jangan sekali-kali timbul persengketaan, tidak lain tujuannya: Budi utama jasmani sempurna ( Cageur Bageur ). Tidak lain amalan kita, Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah, amalkan sebaik-baiknya guna mencapai kebajikan, menjauhi segala kejahatan lahir batin yang bertalian dengan jasmani maupun rohani, yang selalu diselimuti bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syaithan". Kebahagiaan lahir batian, bagi manusia beriman, khususnya para ikhwan TQN, adalah mengamalkan ajaran TQN secara sungguh-sungguh. Inti ajarannya, sebagai terlah diungkap dalam bab sebelumnya adalah dzikir. Segala amalan yang telah baku di lingkungan TQN yang sifatnya nafilah disebut dzikir. Kumpulan dzikir-dzikir yang biasa dibaca setiap kali khataman telah dituangkan oleh Mursyid kita dalam sebuah risilah yang di beri nama Uqud Al-juman.
"Tuhanku, engkaulah yang menjadi tujuanku dan keridhoan-Mu yang aku cari, berikanlah kepadaku kemampuan mencintai-Mu dan Ma'rifah kepada-Mu"
Dalam doa awal dzikrullah, sebagaimana tertulis di atas, terkandung substansi ajaran Islam secara mendasar: Bahwa Allah-lah yang menjadi maksud dan tujuan akhir hidup manusia. Dalam doktrin teologi Islam dijelaskan bahwa manusia pada awal kejadiannya berasal dari Allah, kini sedang berada di bumi Allah dan akhirnya akan kembali kepada Allah.
- Betul semua manusia akan kembali kepada Allah, tetapi apakah ia akan kembali kepada ridha Allah atau kepada azab Allah.
- Dalam doa tersebut selanjutnya dijelaskan bahwa keridhoan Allah-lah (mardhotillah) yang hendak dicari. Dalam aplikasinya, keridhoan Allah hanya dapat dicari dengan taqarrub. Taqarrub ila Allah artinya mendekatkan diri kepada Allah melalui dzikrullah, baik dzikrullah dalam arti umum maupun dalam arti khusus. Adapun yang termasuk dzikrullah yang disebut pertama: misalnya shalat, zakat, puasa, haji, membaca Al-Qur'an atau berbagai aktivitas manusia yang dasarnya tauhidullah, berorientasi kepada ridho Allah dan dilakukan secara ikhlas karena Allah. Sedangkan yang dimaksud dzikrullah dalam arti khusus adalah mengucapkan kalimat tayyibah secara lahir batin, dengan penuh penghayatan, tadharru dan khusuk dibawah bimbingan seorang mursyid melalui talqin. Itu bisa dilakukan secara perorangan (munfarid) ataupun secara berjama'ah; diucapkan secara jahr atau khafi, dengan tujuan berada sedekat mungkin disisi Allah. Nabi Saw bersabda: "Jadilah kamu bersama Allah. Jika tidak, beradalah bersama orang yang bersama Allah".
- Dalam upaya menggapai maksud yang begitu luhur tadi, yaitu keridhoan Allah, seorang "salik" hendaklah berdo'a dengan do'a sebagai terlukis dalam awal ibadah dzikir tadi, "Berilah aku kemampuan, ya Allah untuk mencintai-Mu dan ma'rifah kepada-Mu". Sebab tanpa hidayah dan pertolongan Allah, mustahil seseorang mempunyai kemampuan untuk bertaqorrub kepada-Nya, lebih-lebih dapat sampai kepada keridhoan-Nya. TQN, sebagai ajaran, bukanlah sesuatu yang baru. Ia adalah ajaran yang kemunculannya identik dengan kemunculan Islam itu sendiri, yaitu "Thauhidullah", mengesakan Allah. Doktrin ini kemudian ditanamkan oleh Mursyi Al-Awwal, yaitu Nabi Saw, didalam qalbu setiap sahabat, lalu dihayati dirasakan dan buahnya dibuktikan dalam aktifitas kehidupan kesehariannya secara seimbang. Dalam term tasawuf, orang yang mampu mengaplikasikan tauhidullah dalam kehidupannya secara seimbang disebut Insan Kamil (Manusia Paripurna).
Ibadah Wajibah merupakan penjabaran Syari'ah sedangkan dzikir merupakan pengamalan aspek bathin dari syari'ah yang dalam tasawuf disebut thoreqat. Syari'at dan Tarekat keduanya diamalkan secara seimbang dalam upaya mencari hakikat. Ketika para sahabat bertanya kepada Abdullah bin Abbas mengenai interpretasi firman Allah, "Dzikirlah kamu sekalian kepada-Ku; nanti Aku pun ingat kepadamu". Ia Menjawab: "Dzikirlah kamu sekalian kepada-Ku dengan jalan Taat kepada-Ku; nanti Aku ingat kepadamu dengan pertolongan-Ku". Senada dengan pernyataan diatas, Sa'id bin Jubair mengatakan: "Ingatlah kepada-Ku dengan cara taat kepada-Ku; Aku pun ingat kepadamu dengan ampunan-Ku", sementara sebagian sahabat berpendapat; "Dzikirlah kalian kepada-Ku sewaktu mendapatkan Nikmat dan Kebahagiaan, Niscaya Aku ingat kepadamu ketika kamu dalam kesulitan dan cobaan".
Mengapa Dzikir begitu prinsip dalam TQN? Jawabannya, betapa banyak ayat Al-Qur'an yang menguatkan kedudukan dzikir; bahwa dzikir merupakan perkara yang paling besar. Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya Sholat harus bisa mencegah dari perbuatan Fakhsyah dan Munkar, dan sesungguhnya dzikir kepada Allah Swt lebih besar dan Allah Swt amat mengetahui apa yang kamu perbuat", (QS. Al Ankabut, 29 : 45).
Menurut orang-orang yang ma'rifat, paling tidak ada empat prinsip tentang interpretasi ayat diatas;
- Pertama, Sesungguhnya dzikir kepada Allah lebih besar daripada segala sesuatu. Ia adalah ketaatan yang paling utama; yang dimaksud taat disini adalah menegakan dzikir kepada Allah, sedangkan dzikir adalah rahasia ketaatan dan daya ketaatan itu sendiri.
- Kedua, Sesungguhnya kamu sekalian, kaum muslimin, jika ingat kepada-Nya, maka Allah pun ingat kepadamu; sedangkan dzikir Allah kepadamu lebih besar daripada dzikir kamu kepadanya.
- Ketiga, Sesungguhnya Dzikir kepada Allah lebih besar daripada tetapnya "Fakhisyah" dan "kemungkaran, bahkan jika dzikir dibaca secara sempurna, ia akan dapat menghilangkan segala kesalahan dan maksiat.
- Keempat, Sesungguhnya amal sholeh, apabila ingin diterima oleh Allah, harus diakhiri dengan dzikir dan pujian. Menurut Pangersa Abah, sebagai dikutip Djuhayah S. Praja, Taqarrub illa Allah merupakan inti ajaran tasawuf (TQN) dengan cara mensucikan jiwa (tasfiyat al qulub). Dengan qalbu yang suci seorang Salik mungkin dapat meihat Tuhannya.
Pandangan TQN mengenai Hubungan Sosial Kemasyarakatan, baik dengan sesama muslim maupun dengan non muslim, dapat dilihat dalam bagian uraian tanbih berikut ini:
- Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita baik dhohir maupun batin harus kita hormati, begitulah seharusnya, hidup rukun saling harga-menghargai;
- Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya: "'Adzabun Alim", yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari Dunia sampai Akhirat (badan payah, hati susah);
- Terhadap orang-orang yang keadaannya dibawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersifat angkuh. Sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasehat yang lemah lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan;
- Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah-tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.
Keempat materi tanbih diatas menjelaskan kepada kita bagaimana model ideal interaksi antar kita dengan orang yang lebih tinggi dari kita, dengan sesama dalam arti yang sederajat dalam segalanya, dengan orang yang ada dibawah kita dan dengan fakir miskin. Tanbih menjelaskan bahwa kedamaian lahir bathin akan terwujud ditengah-tengah masyarakat manakala masing-masing individu berpegang teguh terhadap etika sosial; sebagaimana digambarkan dalam tanbih tadi.
Dalam sebuah hadist dijelaskan: "Bukanlah dari golonganku orang yang tidak sayang kepada yang ada dibawahnya dan tidak menaruh hormat kepada orang yang ada diatasnya". Lebih dari itu, Tanbih juga membuat patokan bagaimana seharusnya sikap kita dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dengan orang asing, baik yang seagama dengan kita maupun yang tidak seagama. Kita harus tetap saling hormat menghormati, harga menghargai Tepo Seliro.
Menyangkut Hubungan dengan Non Muslim lebih jelas lagi, tanbih menegaskan seperti berikut: "Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat surat Al Kafirun ayat 6: 'Agamamu untuk kamu, Agamaku untuk ku', maksudnya jangan terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga menghargai, tapi janganlah ikut campur". Tanbih menggariskan adanya toleransi beragama, sejauh tidak melanggar etika teologis. Jangan karena alasan toleransi, keyakinan di korbankan.
Oleh karena itu, dalam urusan agama janganlah kita ikut-ikutan, tetapi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi maupun politik, kita menyatu secara damai dan toleran. Selanjutnya Tanbih menjelaskan, "Cobalah renungkan pepatah leluhur kita: hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah akibat dari perbuatan diri sendiri". Pernyataan Tanbih diatas, disamping mengandung ajaran moral dan akhlak, mengandung pula ajaran teologi. Ketika seseorang dituntut untuk bersikap dan berprilaku terhadap fakir miskin, maka ia harus bersikap jabbariyah. Akan tetapi, ketika melihat kenyataan kehancuran sekelompok manusia yang tidak bersyukur, ada tuntutan untuk bersikap khodariyah. Kehancuran dan kehinaan manusia karena ulahnya sendiri, bukan kehendak Allah.
Bagian akhir tanbih menyatakan: "Oleh karena demikian, hendaklah segenap murid-murid bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan lahir dan batin dunia maupun akhirat, supaya hati tentram. jasad aman, jangan sekali-kali timbul persengketaan, tidak lain tujuannya: Budi utama jasmani sempurna ( Cageur Bageur ). Tidak lain amalan kita, Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah, amalkan sebaik-baiknya guna mencapai kebajikan, menjauhi segala kejahatan lahir batin yang bertalian dengan jasmani maupun rohani, yang selalu diselimuti bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syaithan". Kebahagiaan lahir batian, bagi manusia beriman, khususnya para ikhwan TQN, adalah mengamalkan ajaran TQN secara sungguh-sungguh. Inti ajarannya, sebagai terlah diungkap dalam bab sebelumnya adalah dzikir. Segala amalan yang telah baku di lingkungan TQN yang sifatnya nafilah disebut dzikir. Kumpulan dzikir-dzikir yang biasa dibaca setiap kali khataman telah dituangkan oleh Mursyid kita dalam sebuah risilah yang di beri nama Uqud Al-juman.
sumber :TQN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar