1. Tasawuf
Istilah tasawuf secara etimologis dikatakan beberasal dari beberapa kata-kata yang berbeda-beda. Istilah-istilah tersebut antara lain:
a. Berasal dari kata Ibnu Sauf, yaitu seorang Arab yang hidup sebelum Islam datang dan bertapa di sekitar Kakbah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, berasal dari kata Sufah yang digunakan sebagai nama surat ijazah orang naik haji, berasal dari kata sophia (bahasa Yunani) yang berarti kebijaksanaan (Bani Sudardi, 2003b:14).
b. Diambil dari kata Sawf yang artinya bersih, atau Shafaa yang berarti bersih. Ada juga yang berpendapat kata tasawuf diambil dari Shuffah yaitu suatu kamar disamping masjid Nabi Muhammad di Madinah yang disediakan untuk sahabat-sahabat nabi yang miskin, tapi kuat imannya, yang makan minum mereka ditanggung oleh orang-orang yang mampu dalam kota Madinah. Ada juga yang mengambil sandaran kalimat tasawuf ini dari shaff yaitu baris-barisan saf ketika sembahyang, sebab orang-orang yang kuat imannya dan murni kebatinannya ketika sembahyang memilih saf yang pertama. Ada juga yang mengambil sandaran kata tasawuf dari saufanah yaitu sebangsa buah-buahan kecil berbulu-bulu yang banyak tumbuh di padang pasir tanah Arab, sebagaiman pakaian kaum sufi yang berbulu-bulu seperti buah tersebut (Barmawie Umarie, 1966:9 dan Hamka, 1993:79).
Tasawuf berarti membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang dalam memerangi hawa nafsu untuk mendekati sifat-sufat suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, mamakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasehat memegang tegung janji Allah dan mengikuti contoh Rasulullah (Al Junaid dalam Hamka, 1993:84).
Tasawuf dapat pula diartikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani. Kecintaan dan kesempurnaan rohani yang dapat dirasakan dalam dunia rohani, dunia yang tidak dapat di raba dan dirasa melalui pancaindra, tetapi dapat dirasa dengan kelezatan perasaan yang halus, dunia yang ghaib, serta berpadu dengan arti cinta dan kesempurnaan (Abubakar Aceh, 1992:28).
Bani Sudardi (2003b:13) berpendapat bahwa tasawuf dapat dikatakan sebagai paham yang berusaha membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang tercela dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tasawuf lebih menekankan ibadah berdasarkan kecintaan terhadap Tuhan daripada ibadah yang semata-mata memenuhi hukum fikih. Penekanan terletak pada batin manusia, bukan dari kegiatan lahirnya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas tasawuf dapat diartikan secara sederhana sebagai paham yang mementingkan kepentingan rohaniah yang berusaha membersihkan hati dari bermacam-macam godaan kesenangan duniawi dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani.
Tasawuf atau sufisme adalah nama yang biasanya dipergunakan untuk menyebut mistik Islam. Mistik telah disebut sebagai arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama, yang dalam pengertian luas dapat diartikan sebagai kesadaran terhadap "Kenyataan Tunggal" yang mungkin disebut "Kearifan", "Cahaya" atau "Nihil" atau bisa disebut sebagai cinta kepada Yang Mutlak (Schimmel, 2000:1-2).
Tasawuf tidak tersusun dari praktik dan ilmu, tetapi merupakan akhlak, dan siapa yang yang melebihimu dalam nilai akhlak maka melebihimu dalam tasawuf. Maksudnya ialah bertindak sesuai dengan perintah dan hukum Allah, yang dipahami dalam pengertian rohaninya yang dalam tanpa mengingkari bentuk-bentuk luarnya (Schimmel, 2000:17).
Karakter khas yang terdapat di dalam tasawuf ialah mengenai adanya pembagian agama ke dalam tingkatan-tingkatan tertentu. Tingkatan-tigkatan tersebut meliputi 1) syariat, 2) tarekat, 3) hakikat dan 4) makrifat. Syariat adalah hukum-hukum dasar dalam menjalankan agama yang oleh para pengikut tasawuf dipakai dalam pedoman lahiriah seperti menjalankan salat atau puasa. Tarekat berarti jalan yang ditempuh oleh para pengikut tasawuf dengan menjalankan ibadah sekhusyuk-khusuknya. Di dalam tarekat diharuskan ada guru yang membimbing dan sering kali dalam pelaksanaan peribadatannya terdapat banyak variasi (misalnya dalam tata cara zikir dan doa). Oleh karena itu, dalam perkembangannya menjadi suatu aliran khas yang namanya dinisbatkan kepada pemimpin awalnya. Pada tingkatan hakikat timbul suatu kesadaran dan kemampuan dalam diri seorang sufi terhadap realitas gaib yang sebelumnya tidak diketahui. Pada tingkatan ini seorang sufi dituntut untuk mengekang nafsu agar tidak tergelincir kepada jalan kesesatan. Tingkatan tertinggi dalam tasawuf adalah makrifat, yaitu realitas hakiki yang menjadi tujuan utama. Seorang sufi senantiasa memusatkan perhatiannya untuk mencapai realitas tertinggi, yakni Allah. Pada tingkatan tertinggi ini sufi merasa bermesra-mesraan dengan Allah melalui pengalaman batinnya (Bani Sudardi, 2003b:6-7)
Model jalan mistik dalam tasawuf memiliki perwujudan yang bervariasi, yang pada umumnya bahwa jalan menuju Tuhan diibaratkan manusia sebagai perantau yang melakukan perjalanan atau perpindahan. Dalam Islam, jalan mistik ibarat jalan, maka sering disebut dengan "tarekat" (thariqat dalam bahasa Arab) yang dalam pengamalannya melalui tingkatan-tingkatan yang dinamakan dengan maqam. Orang mistik yang mengerjakannya dinamakan salik (Romdon, 1995:32-33).
2. Tarekat
Secara etimologi tarekat (thariqat dalam bahasa Arab) berasal dari kata Arab "Tariqatun" jamaknya "tharaiq" (Ahmad Fuad Said, 2005:1) yang berarti:
1. jalan atau cara (al-kaifiah)
2. metode atau sistem (al-uslub)
3. mazab, aliran, haluan (al-mazab)
4. keadaan (al-halah)
5. pohon kurma yang tinggi (an-nakhiah ath-thawilah)
6. tiang tempat berteduh, tongkat atau gagang payung (amadul midzhallah)
7. yang mulia terkemuka dari kaum (syariful qaum)
8. gores atau garis pada sesuatu (al-khath fi as-syi`i)
Istilah 'tarekat' memiliki banyak pengertian. Tarekat bisa berarti 'jalan', terutama tradisi kesufian, atau 'organisasi persaudaraan sufi'. Istilah tarekat diartikan sebagai organisasi persaudaraan sufi, sehingga tarekat dalam pengertian ini berarti pengorganisasian ajaran isoteris (khusus kesufian) yang terpusat pada hadirnya pembimbing (mursyid). Makna ini dekat dengan kata kata sirath yang berarti 'jalan jembatan', syari`at (jalan menuju sumber air), sabil (jalan). Kata 'suluk' juga mengandung makna jalan, cara atau prosedur yang harus ditempuh seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuannya. Secara terminologis, ringkasnya paling tidak memiliki tiga arti diatas, yaitu jalan lurus, praktek tasawuf dan persaudaraan sufi (Lubis, 2005:3).
Tarekat juga berarti tasawuf, apabila tasawuf dipandang sebagai jalan spiritual menuju Tuhan. Sang penempuh jalan spiritual (salik) harus menempuh jalan tersebut (suluk) dibawah pimpinan seorang guru terpercaya (syekh, mursyid, atau pir dalam bahasa Persia) yang dalam pengembaraannya melalui tingkatan-tingkatan yang disebut maqam (Schimmel, 2000:101). Ini berarti tarekat adalah nama khusus bagi sekumpulan latihan kejiwaan (riyadhah al-nafs) dan ritual spiritual yang memandu seseorang atau sekelompok orang yang menapaki jalan khusus dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan (Lubis, 2005:3)
Tarekat adalah jalan atau cara pelaksanaan teknis untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan bimbingan seorang mursyid. Mursyid menunjuk kepada hubungan penurunan ilmu tarekat dari satu guru kepada guru tarekat yang lainnya. Adapun tujuan tarekat adalah mempertebal keimanan dalam hati sedemikian hingga tidak ada yang lebih indah dan dicintainya selain dari Allah, dan kecintaannya itu melupakan dirinya dan dunia ini seluruhnya. Perjalanan kepada tujuan itu harus dilandasi rasa ikhlas dan bersih dari segala amal dan niatnya yang dilakukan dengan cara memperbanyak zikir kepada Allah (Abubakar Aceh, 1992:64).
Pusat kegiatan tarekat di dunia Islam dikenal antara lain dengan nama ribath, zawiyah, tekke, darqah. Anggota tarekat dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang bermukim dalam ribat serta memusatkan perhatian sepenuhnya pada ibadah. Kelompok kedua adalah mereka yang tinggal di luar ribath dan tetap melakukan pekerjaan sehari-hari, namun pada waktu tertentu berkumpul di ribath untuk mengikuti pelatihan spiritual tertentu. Murid yang menjadi tingkat lanjutan tertentu biasanya diberi ijazah dan diperbolehkan keluar dari ribath yang kemudian biasanya mendirikan ribath baru di tempat lain dengan cara menjadi mursyid bagi murid-muridnya. Dengan cara inilah pengikut tarekat semakin banyak dan menyebar hingga membentuk suatu jaringan yang signifikan (Lubis, 2005:4-5).
E. Tarekat Naqsyabandiyah
Penyelenggaraan tarekat merupakan salah satu perkembangan yang menarik dalam perkembangan di Nusantara kita. Melalui pengikut tarekat, Islam di Indonesia berkembang pesat, oleh karena itu pada paruh abad ke-17 berkembanglah beberapa aliran tarekat, di antaranya tarekat Naqsyabandiyah yang berkembang di daerah Aceh (Fang, 1994: 41).
"Naqsyabandiyah" menurut Syekh Najmuddin Amin Al Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub berasal dari dua kata dalam bahasa Arab, yaitu "naqsyi" yang berarti "ukiran atau gambar" yang dicap pada sebatang lilin atau benda lainnya, dan kata "band" yang berarti "bendera atau layar besar". Jadi, Naqsyabandiyah dapat diartikan sebagai ukiran atau gambar yang terlukis pada suatu benda, melekat, tidak terpisah lagi, seperti tertera pada sebuah bendera atau spanduk besar (Ahmad Fuad Said, 2005:5)
Orang yang memberi tarekat Naqsyabandiyah adalah Syekh Bahauddin Naqsyabandi, berasal dari tradisi Asia Tengah yang merupakan keturunan Yusuf Hamdhani (Shcimmel, 2000:462). Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa "naqsyiban" merupakan nama sebuah negeri di Turkistan, tempat lahir Syeh Bahauddin. Selanjutnya Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif dalam kitabnya ayātu 'l-Baiyinaat halaman 23 menyatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah ialah tarekat Nabi Muhammad yang diajarkan dan diasuh oleh Bahauddin Naqsyabandi dan diamalkan oleh murid-muridnya. Syekh Bahauddin mengajarkan kepada murid-muridnya untuk mengamalkan tiga ilmu, yaitu tauhid, fikih dan tasawuf. Berbeda nama tarekat berarti berbeda orang yang melaksanakannya, sehingga berbeda pula wirid yang datang dari nabi Muhammad yang dipakai mereka (Ahmad Fuad Said, 2005:6).
Aliran-aliran tarekat diketahui banyak jenisnya, namun terdapat perbedaan yang khas dalam pelaksanaan peribadatannya. Ibadah yang membedakan antara aliran-aliran tarekat adalah zikir.
Amalan pokok paling mendasar bagi penganut tarekat Naqsabandiyah adalah zikir untuk mengingat Allah. Menurut Ahmad Fuad Said zikir itu terbagi menjadi dua, yaitu zikir qalbi (hati) dan zikir lisan (lidah). Zikir dengan lidah ialah menyebut Allah dengan berhuruf dan bersuara. Zikir dengan hati ialah mengingat atau menyebut Allah dalam hati, tidak berhuruf dan tidak bersuara (2005:17). Penganut Tarekat Naqsyabandiyah memilih zikir qalbi, karena peranan hati dalam kehidupan sangat menentukan. Hati adalah tempat iman, sumber pancaran cahaya dan penuh dengan rahasia. Jika hati baik, niscaya anggota tubuh yang lain akan menjadi baik, jika hati buruk maka buruklah anggota badan yang lain (Ahmad Fuad Said, 1996:53).
Pelaksanaan zikir dalam Tarekat Naqsyabandiyah adalah dengan zikir qalbi. Adapun zikir qalbi terbagi menjadi dua, yaitu zikir Ismu Zat dan zikir Nafi Isbat. Zikir Ismu Zat yaitu zikir dengan menyebut nama zat Allah yaitu Allāh Allāh. Zikir Nafi Isbat adalah zikir dengan mengucap Lā ilāha illa 'l-Lāh. Variasi lain yang diamalkan oleh pengikut Tarekat Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah zikir Lathaif. Melalui zikir ini, orang memusatkan kesadarannya, yakni membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas, berturut-turut pada tujuh titik halus (Bruinessen, 1992:80-81). Ketujuh tempat tersebut adalah: 1) latifatu 'l-qalbi yang merupakan sentral dan rohaniah manusia dan merupakan induk dari lathifah-lathifah lainnya yang terletak dua jari di bawah susu kiri dan satu jari arah ke kiri (hati sanubari manusia sendiri), 2) latifatu 'r-Ruh terletak dua jari di bawah susu kanan dan satu jari arah ke kanan, 3) latifatu 's-Sirri terletak dua jari di bawah susu kiri dan satu jari arah ke kanan, 4) latifatu 'l-Khafi terletak dua jari di bawah susu kanan dan satu jari ke arah dalam dari susu kanan, 5) latifatu 'l-Akhfa yang terletak di tengah-tengah dada kita, 6) latifatu 'n-Natika terletak di ubun-ubun dan berhubungan dengan otak jasmani, 7) latifatu kullu 'l-Jasad yaitu menzikirkan seluruh latifah-latifah dan seluruh anggota badan serta ruas-ruasnya dari ujung rambut sampai ujung kuku (Djamaan Nur, 2004: 264-268).
Latihan mistik lain yang terdapat dalam Tarekat Naqsyabandiyah di samping amalan yang berupa zikir adalah muraqabah. Muraqabah ini berarti menjaga atau merasa dirinya selalu diawasi oleh Allah dalam segala sikap dan hukum Allah. Sikap batin ini timbul dengan membangkitkan kepekaan rasa pada kesenantiasaan Allah melihat segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia (Al-Qusyairy, 2002:286).
sumber : TQN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar